DUDUNG ABDURACHMAN, Budak Bandung tea atuh....
Panglima Komando Daerah (Kodam) Jayakarta Mayjen Dudung Abdurachman, S.E., M.M. adalah putra seorang penjual klepon.
Kesannya Pak Dudung tegas dan berwibawa. Namun, sejatinya ia adalah perwira yang low profile. Kamis lalu (19/11/2020) adalah hari kelahirannya. Sekali lagi selamat hari jadi Pak Dudung. Kini usianya 55 tahun. Di hari kelahirannya itu, ia mengenang perjuangan ibunya. Seorang janda penjual klepon yang sukses mengantarnya menjadi perwira tinggi di lingkungan TNI.
"Saya ditinggal meninggal oleh bapak saya itu tahun 1981. Anaknya 8 orang. Bapak saya hanya seorang PNS golongan II D. Golongan II D itu lumayanlah ekonominya," ucapnya sambil tersenyum.
Sepeninggal ayahnya, ia tinggal bersama ibu dan tujuh saudara lainnya. Ia dan keluarganya harus melewati masa-masa sulit setelah kepergian ayah tercinta. Perekonomian keluarga limbung. Namun, waktu menuntunnya untuk tetap survive. Ibunya tak kehabisan akal. Perempuan yang melahirkannya itu mulai berjualan aneka penganan untuk bisa menghidupi seluruh anggota keluarga.
"Ibu saya mulai jualan klepon, pastel, odading. Saat itu saya baru SMP," katanya.
Dudung remaja tak mau tinggal diam. Ia ikut bekerja keras membantu sang ibu. Ia bertugas mengantarkan kue buatan ibunya untuK dititipkan ke kantin Kodam Siliwangi. Setiap hari ia jalani itu sebagai kewajibannya. Sebab, hanya itu sumber ekonomi keluarga.
Didikan ibunya membuat Dudung tak patah arang. Kerja keras adalah pilihan satu-satunya untuk bisa survive dari keterpurukan ekonomi keluarga.
"Kue klepon itu kan ditaruh di tampaian begitu, lalu diatasnya ditutupi taplak dan diatasnya ditutupi lagi menggunakan daun pisang," katanya. ( riwat hidup...teruskan baca narasi bawah ...👇 )
Saban pagi, ia harus melewati gerbang penjagaan prajurit Kodam Siliwangi sebelum sampai di kantin Kodam. Wajahnya tak lagi asing bagi petugas jaga. Kala itu ia hanya dikenal sebagai seorang pengantar dan penjual klepon. Sehingga dengan mudah ia bisa keluar masuk melewati penjagaan prajurit di pos pintu masuk.
Suatu pagi, Dudung muda melewati pos penjagaan yang sama. Namun langkahnya dicegat seorang prajurit Tamtama muda.
"Eh, sini kamu," sergah prajurit muda itu.
Setelah interogasi sesaat, sepatu dinas harian tentara muda itu tiba-tiba saja mendarat keras di tulang kering kakinya. Dudung mengerang keras. Kue klepon buatan ibunya berhamburan ke tanah.
"Glundung. Glundung. 55 biji klepon berhamburan di tanah," ujarnya lalu tertawa terbahak-bahak mengenang peristiwa itu.
Ia tak melawan. Dudung muda justru memungut olahan ibunya satu persatu dari tanah. Matanya memandangi bumi sambil mencomot 55 klepon yang kini berlumur tanah. Kesal tak bisa ia tutupi. Tetapi, peristiwa itulah yang justru membuatnya bertekad untuk menjadi seorang prajurit TNI.
"Awas nanti kalau saya jadi perwira taruna. Saya nanti masuk AKABRI. Di situ muncul keinginan pingin masuk taruna AKABRI itu," gerutunya dalam hati sambil memunguti klepon-klepon yang telah berubah warna karena dipenuhi debu tanah itu.
Setelah lengkap dipunguti satu per satu, ia ngeloyor pulang ke rumah. Hari itu, kue klepon tak jadi dijual. Kantin Kodam Siliwangi hari itu tak dihiasi kue klepon buatan ibunya. Ia mengadu ke ibunya bahwa ia ditendang petugas jaga pos.
Bukannya marah, ibunya justru tertawa lalu berkata. "Ya udah, bawa lagi aja yang lain. Bikin lagi aja kleponnya," ujarnya menirukan pernyataan ibunya itu.
Namun karena bahan kue klepon habis, jatah untuk kantin Kodam Siliwangi hari itu praktis tidak ada.
Diusianya yang masih sangat muda itu, tak adalagi rasa malu. Rasa malu itu justru ia buang jauh-jauh. Boleh jadi, karena saat itu ia belum jatuh cinta pada seorang perempuan. "Saya jualan dan antar klepon itu sampai SMA," jawabnya saat ditanya apakah saat itu sudah memiliki seorang kekasih.
Bertahun-tahun menjadi penjual klepon, ia merasa perlu mengembangkan bakatnya di bidang lain. Sejak kelas 1 SMA 5 Bandung, ia mulai menjalani usaha lain. Ia mulai membagi waktu dengan sangat baik. Antara menjual koran, mengantarkan klepon, dan membantu pekerjaan rumah ia jalani dengan disiplin.
"Saya mulai jualan koran. Saya ambil sekolah siang supaya pagi harinya saya jualan koran sampai jam 8 pagi. Nah, jam 8 pagi saya antar klepon ke kantin Kodam Siliwangi. Jam 9 pagi setelah antar klepon saya cari kayu bakar untuk keperluan masak. Termasuk masak klepon itu. Jam 11 istirahat. Nanti jam 1 ke sekolah," ungkapnya mengenang masa-masa itu.
Semua itu ia jalani karena didikan disiplin ibunya. Bagi dia, ibunya adalah perempuan hebat yang ia temui dalam hidupnya. Perempuan tangguh yang membuatnya belajar banyak mengenai hidup dan tangga menuju sukses.
"Ibu saya itu hebat, ya. Anaknya delapan orang. Makanya hebat Tuhan itu, tidak semua orang punya gaji. Tapi semua orang punya rezeki. Kita belum pernah liat orang mati kelaparan di Jakarta ini. Sekalipun itu orang gila," katanya.
Selepas SMA, ia penuhi janjinya sendiri. Ia daftarkan diri sebagai calon taruna AKABRI. Saat yang sama, ia juga diterima di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Ia akhirnya harus memilih. Sebelum memutuskan pilihan, ia mengabarkan kepada ibunya. Sekaligus meminta pertimbangan yang mana yang harus dipilih. Gayung bersambut. Ibunya menyerahkan keputusan pada Dudung muda. Tetapi, ibunya mengakui tak punya uang untuk membiayai kuliah.
"Ya udah, saya akhirnya putuskan masuk taruna AKABRI. Dan saya masuk taruna itu dari kalangan orang susah (ekonominya). Di antara taruna-taruna yang kurus, saya gemuk sendiri," ujarnya lalu terbahak-bahak.
Dudung Abdurachman berkarier dengan baik selama menjadi prajurit TNI. Kedisiplinan, kerja keras, pantang menyerah adalah modal utama warisan ibunya. Modal itu terbawa hingga ia kini menjadi panglima Kodam Jaya. Sebuah jabatan dan karier prestisius bagi seorang anak penjual klepon.
Ia pun masih sangat menyukai klepon. Tetapi, klepon yang ada saat ini, kata dia, kalah jauh enaknya dengan klepon buatan tangan ibunya. Ia juga hapal dengan bahan-bahan klepon buatan ibunya. Sesekali, ia merindukan kue klepon buatan ibunya. Walau tak mungkin lagi ia merasakan nikmatnya klepon buatan ibunya itu kini.
Harapannya, pengalaman hidupnya yang sulit bersama ibunya menjadi pelajaran berharga bagi anak-anak muda di Ibukota dan Indonesia. Bahwa tidak ada yang mustahil selama memiliki tekad baja dan semangat membara di dalam dada. Diatas segalanya, ketaatan dan ridho orang tua, terutama ibu adalah pengunci keberhasilan. Ia berpesan begini bagi kaum muda.
"Yang ada di depanmu dan yang ada di belakangmu, sekalipun yang ada di sekelilingmu tidak berarti apa-apa dibanding yang ada di dalam dirimu. Kerja keras. Yang kedua; berbaktilah kepada orang tuamu. Terutama ibumu. Terutama ibumu. Kalau kalian mencintai ibu, menyayangi ibu, pasti akan berhasil," katanya.
Good inspiration:
No comments:
Post a Comment