AMBISI HTI DI ATAS AYAT KONSTITUSI DAN AYAT SUCI
Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar
“Menggerakkan gunung dengan jari lebih mudah daripada menghilangkan hasrat nafsu yang telah kuat.”
Anggaplah resiko perjuangan, beberapa kader Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) harus kehilangan posisi jabatan fungsional di kampus tempat mereka mengajar karena terbukti mengadopsi dan memperjuangkan ideologi Khilafah Tahririyah.
Di Kendari, seorang mahasiswa kader HTI dikeluarkan dari kampus. Di Mojokerto, pengurus HTI Jawa Timur mendekam di penjara karena menyebarkan ujaran kebencian terhadap Banser di media sosial. Di Banjar, seorang syabab HTI divonis penjara karena menyebarkan paham HTI di media sosial.
Hidup ada pilihan. Mau tetap istiqamah bersama HTI atau tidak, itu pilihan. Tidak seorang pun yang memaksa. Oleh sebab itu, semua resiko perjuangan menegakkan Khilafah Tahririyah menjadi tanggung jawab kader HTI sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa-siapa. Kalau pun, ada yang mau disalahkan, salahkan Amir Hizbut Tahrir, karena dialah yang punya gawe di balik semua aktivitas HTI.
Cuman, orang di luar HTI melihat mereka sekelompok orang-orang yang bodoh. Mereka memperjuangkan perkara yang jangan kan wajib, sunnah pun tidak. Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengatakan: “Di antara tanda-tanda mengikuti hawa nafsu adalah bersegera melakukan amal sunnah, dan bermalas-malasan mengerjakan amal wajib.” (lanjutkan baca di bawah ...👇 )
Khilafah Tahririyah pendapat fiqih yang diadopsi HTI. Memang setiap orang harus mengambil suatu pendapat fiqih agar bisa beramal. Mayoritas umat Islam di Indonesia, telah mengadopsi NKRI sebagai pendapat fiqih yang mereka yakini lebih mendekati kebenaran. Dengan NKRI mereka beramal. Terlepas, ketidaksetujuan HTI terhadap pendapat fiqih ini, HTI tetap wajib menghargainya (toleransi).
Secara teoritis, pendapat fiqih HTI seputar Khilafah Tahririyah, sah-sah saja untuk didiskusikan. Mengadopsinya adalah pilihan (mubah), bukan tuntutan (fardlu) maupun anjuran (sunnah). Namun tidak bisa diamalkan karena Khilafah Tahririyah membutuhkan pemerintahan, wilayah, penduduk dan konstitusi yang baru.
Sedangkan di Indonesia sudah ada pemerintahan, wilayah, penduduk dan konstitusinya, yang absah secara syar’i. Jika mau, HTI bisa mencari wilayah kosong yang belum ada pemerintahan, penduduk dan konstitusinya.
Doktrin thalabun nushrah (kudeta) dan istilamul hukmi (peralihan kekuasaan) memastikan bahwa Khilafah Tahririyah tegak dengan kekerasan bukan sekedar teori. HTI ibarat ingin membangun rumah di atas tanah rumah orang lain dengan cara menghancurkan rumah itu terkebih dahulu.
Atau HTI mau membangun masjid di atas masjid orang lain. Konsekuensi hukumnya, yang asalnya secara teoritis Khilafah Tahririyah, mubah, berubah menjadi haram.
Akan tetapi anehnya, kader-kader HTI merasa ringan-ringan saja, tetap semangat dan istiqamah. Sesungguhnya itu pertanda aktivitas mereka mendirikan Khilafah Tahririyah selaras dan serasi dengan hawa nafsu.
Kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah: “Jika ada dua perkara yang membuatmu ragu, maka lihatlah mana yang berat bagi nafsu, lalu ikutilah. Sesungguhnya tidaklah nafsu merasa berat kecuali jika itu benar.”
Syaikh Zarruq menerangkan, dorongan nafsu adalah kecenderungan untuk meraih tujuan-tujuan yang diinginkan nafsu. Mengikutinya berarti melalukan berbagai hal yang dikehendaki nafsu. Mengikuti dorongan berarti menghadap dan berpaling tanpa memperdulikan syariat.
Menyibukkan diri berjuang mendirikan Khilafah Tahririyah yang hukumnya haram, pada saat bersamaan melalaikan kewajiban-kewajiban agama yang lain, bukti terang benderang bahwa perjuangan HTI tidak lebih dari dorongan nafsu belaka. Diperkuat dengan perilaku kader HTI yang tidak mengindahkan adab, akhlak, syariat dan konstitusi.
Ambisi HTI, ternyata di atas ayat konstitusi dan ayat suci.
No comments:
Post a Comment