1)*Pergerakan Anas yang Tidak Disadari AHY*
Oleh : Alifurrahman Feb 03, 2021
*Rengekan AHY kemarin sejatinya mirip anak di sekolah yang sedang rebutan mainan*. Lalu dalam posisi terjepit, si anak berkirim surat ke kepala sekolah.
AHY bukan saja tidak tau politik, bahkan tak tahu bagaimana realitas kehidupan yang sebenarnya. Bahwa perjuangan, perseteruan dan kompetisi adalah hal yang sangat-sangat biasa dalam sektor apapun.
*AHY dalam segala bidang, kalah dengan Moeldoko.* Baik dari sisi pangkat di militer, hingga pengalaman berpolitik. Tapi kalau itu menjadi puncak ketakutannya, itu jelas salah.
Sebenarnya yang mengancam posisi AHY bukan Moeldoko. Dia hanya orang luar yang sedang diidolakan untuk bersiap maju di Pilpres 2024. Yang mengancam posisinya adalah orang-orang terdekatnya di pengurus Demokrat pusat.
Saya dulu pernah ketemu dengan loyalis Anas Urbaningrum. Saya melihat bagaimana mereka tetap bergerak dan menempatkan para loyalisnya di berbagai posisi di pemerintahan. Agar logistik pergerakan tetap jalan.
*Anas dari dalam penjara juga terus memberikan instruksi secara berkala untuk membangun* kekuatan. Agar saat dirinya keluar, panggung dan karpet biru sudah siap untuk dipakai. Anas Urbaningrum sendiri diperkirakan akan bebas tahun 2023. Setahun sebelum Pilpres.
Saya tak sengaja tahu cerita ini karena kebetulan rekan diskusi atau mentor pertanian teman saya, rupanya saudara dari Anas Urbaningrum.
Maka kalau Moeldoko mengaku hanya berbicara soal pertanian dengan kader atau mantan kader Demokrat, saya jadi meyakini betul bahwa para kader itu memang bagian dari loyalis Anas yang sudah bersiap untuk beraksi.
*Entah itu kebetulan saja Moeldoko bercerita dalam klarifikasinya*, atau sebuah kode khusus kepada SBY dan AHY, bahwa kata ‘pertanian’ itu adalah simbol dari Anas Urbaningrum.
Wajar kalau AHY kelabakan dan panik. Karena pergerakan Anas sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu. Loyalisnya di Demokrat masih sangat banyak dan kian solid. Klaim soal kadernya solid dan berikrar itu justru mempertegas bahwa sudah tak ada lagi kader yang mau dipimpin olehnya. Benar-benar terjepit.
*Dalam sebuah diskusi, saya pernah mendengar cerita dari kader Demokrat soal cara AHY* memimpin. Mereka bilang, kalau di partai lain, pimpinan dan sekjen itu selalu terbuka pintunya. Kapanpun. Begitu juga dengan rumah saudara Anas itu. 24 jam buka untuk berbagai keperluan. Sehingga kader bisa datang tanpa perlu bikin janji. Dan kalau kemaleman, bisa istirahat dulu di ruang tunggu.
Sementara AHY, dalam sebuah kesempatan rapat kerja, setelah turun dari panggung, langsung masuk hotel dan tutup pintu. Tidak bisa diganggu lagi. Padahal kalau dulu ketika Anas memimpin, kata mereka, pintu kamarnya selalu terbuka dan siap kapanpun untuk berdiskusi.
Saya ketawa saja mendengar cerita itu. Karena AHY adalah anak dari mantan Presiden 10 tahun. Anak ketum Partai. Arti kewibawaan baginya mungkin tak tersentuh oleh kader-kader di daerah, dan harus melalui birokrasi panjang sebelum sampai pada dirinya.
Saya pernah mendampingi Hatta Rajasa saat masih memimpin PAN dan berkunjung ke Malaysia. Saya lihat memang dia cukup terbuka untuk diskusi dengan semua pengurus partai. Sanggup berdiskusi sampai larut, meski belum sempat beristirahat sejak pertama sampai.
Pada Pilpres 2019 kemarin, saya juga pernah diajak kampanye PDI Perjuangan di Medan oleh seorang teman. Dari pengalaman itu saya juga bisa melihat bagaimana militansi Sekjen Hasto Kristianto dalam melakukan konsolidasi. Jam 6 pagi sudah harus di mobil dan siap jalan, lalu balik ke hotel minimal jam 12 malam atau dinihari.
Jadi ketika ada kader Demokrat cerita soal gaya AHY memimpin, nampak jelas bahwa AHY sama sekali tidak punya jiwa organisasi dan politik. Maka wajar kalau dalam kondisi seperti ini bukannya melakukan konsolidasi, malah curhat di depan wartawan dan ngadu ke Presiden.
Kesimpulan saya, AHY selama ini mengira bahwa kadernya senyap karena solid. Padahal air yang tenang itu justru menunjukkan kedalaman. Dan itu sudah terlambat untuk disadari hari ini.
*Bahkan kalau AHY membaca catatan ini, rasanya sudah sangat terlambat untuk menyelamatkan* *posisinya.*
Loyalis Anas pasti sudah menunggu momen ini. Sabar menunggu SBY mengundurkan diri. Maka ketika AHY dipaksakan maju, inilah yang terjadi. Sudah kalah di Pilgub, tapi bermimpi maju di Pilpres. Benar-benar menunjukkan kebodohan. Begitulah kura-kura.
Source : https://seword com/politik/pergerakan-anas-yang-tidak-disadari-ahy-5PscpxDIvF
=================
2) Nak… Saya Prihatin, Kamu Kok Malah Kasih Panggung Buat Moeldoko?
Oleh: Andre Vincent Wenas
Tidak ada salahnya kalau Jenderal (Pur) Moeldoko mau nyapres. Tidak ada salahnya pula kalau Pak Jokowi – katanya – “merestui”. Memangnya kenapa? Dan tidak ada salahnya kalau banyak kader Partai Demokrat mau Kongres Luar Biasa. Lha itu ada kok di AD/ART.
Justru dengan bikin konpers model begitu, dimana Ketum AHY dengan sinyalemennya tentang “kemungkinan adanya kudeta internal melalui mekanisme KLB” membuat banyak orang mengernyitkan kening.
Mereka yang dulu pernah ikut pelatihan organisasi dan kepemimpinan sewaktu SMA pun bisa saling melirik satu sama lain. Contradictio in terminis, mana ada “kudeta” yang internal, dan melalui mekanisme KLB internal partai pula?
Itu mah proses atau dinamika biasa saja dalam organisasi. Jika ada faksi yang tidak puas dengan kepemimpinan suatu organisasi, setelah melalui dinamika tertentu secara internal, lalu mengusulkan kongres luar biasa. So what?
Bukankah kalau ada ketidakpuasan internal, semestinya pimpinan partai (Ketum) segera membereskan secara internal. Coaching and counselling kek, road-show ke DPD-DPC kek, seraplah aspirasi sambil menyampaikan bagaimana ide-ide cemerlangnya bisa membuat ‘turn-around’ partai yang sudah hampir megap-megap itu.
Kita teringat, dalam rumusan manajemen perubahan (change management) senantiasa mengandung dua elemen: rasionalitas argumentasi dan emosionalitas keterlibatan.
Sampaikan saja program-program yang rasional dan cerdas, serta ikat emosionalitas mereka dalam kesatuan visi-misi yang menantang, dimana mereka merasa terlibat, sehingga mau berpartisipasi serta senantiasa dimampukan untuk bisa berkontribusi dalam program-program partai.
AHY yang – paling tidak – punya modal-sosial yang lumayan, dan – klaimnya – juga punya modal-politik (dukungan definitif dan orisinal dari DPD-DPC) seyogianya bisa segera mengapitalisasi itu semua. Itulah unjuk kerja manajer-leader sebuah partai politik.
Masalahnya ia mau dan mampu atau tidak? Bahwa dukungan DPD-DPC (modal-politik) itu definitif dan orisinal atau tidak? Itu saja khan persoalannya.
Ingat lho, unjuk kematangan itu bukan soal pasang jenggot.
Justru dengan mengumbar-umbar cerita bahwa ada “orang dekat lingkaran istana” (sekarang sudah jelas maksudnya Jenderal Moeldoko) ia malahan secara gratisan memberi panggung promosi bagi Jenderal Moeldoko, yang – kalau benar ingin nyapres – malah seperti diberi akses jalan tol ke internal Partai Demokrat untuk beternak dukungan. Ia bisa jadi semacam “satria piningit”-nya para reformis di internal partai.
Jadi semacam promosi ke internal Partai Demokrat bagi kader-kader yang sedang goyang imannya, dan ke eksternal partai bahwa ternyata ada kandidat yang lebih “kuat” (bintang empat vs melati satu, matang vs mangkel, old-crack vs newbie, dst) demi mengembalikan kedigdayaan partai yang pernah mereka nikmati dahulu kala.
Soalnya kelamaan jadi “oposisi yang tidak jelas” membuat kering kerontang juga sih. Ngerti khan maksudnya?
Sudah banyak yang menganalisa tentang apa sih relevansi Pak Jokowi dikait-kaitkan dalam kekisruhan internal Partai Demokrat. Tak usah kita ulangi lagi disini. Lha wong beliau sekarang sedang senyum-senyum geli membaca surat AHY kepadanya. Iki opo maksudte tho... lek???
Sementara itu di sebuah kamar, Pepo sedang gundah.
Dan dalam kegundahannya ia mungkin terinspirasi untuk menciptakan lagu lagi. Kali ini mungkin judulnya agak melow:
“Nak… Saya Prihatin, Kamu Kok Malah Kasih Panggung Buat Moeldoko?”
03/02/2021
Andre Vincent Wenas, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).
https://www.kompasiana.com/andrevincentwenas/601a3674d541df3f8859bba2/nak-saya-prihatin-kamu-kok-malah-kasih-panggung-buat-moeldoko?page=all#section1
No comments:
Post a Comment