Hari ini, tanggal 17 Desember, 78 tahun lampau, Soe Hok Gie lahir. Ia tetap memakai nama Soe Hok Gie, meski kakaknya yang bernama Soe Hok Djin berganti nama Arief Budiman. Dalam Pemilu 2019 lalu, sempat jadi masalah, karena ada yang menuding KPU (Komisi Pemilihan Umum) disusupi PKI karena ketuanya bernama Arif Budiman.
Perkara sepele itu, sampai membuat Goenawan Mohamad turun tangan menjelaskan, bahwa ketua KPU bernama Arief Budiman itu bukan Soe Hok Djin. Lagian kenapa pula dengan nama Soe Hok Djin, atau pun Soe Hok Gie?
Pengantar bertele2 di atas, hanya untuk menegaskan, betapa persoalan kek gituan, rasisme itu, masih menjadi klilip dan slilit. Dan ketika tahapan Reformasi 1998 hendak beranjak ke jaman baru, dengan transisi presiden bernama Jokowi, klilip dan slilit itu begitu nyebelin.
Padal negeri ini, lewat Soe Lie Piet, alias Salam Sutrawan, pernah melahirkan manusia bernama Soe Hok Gie. Manusia teladan Indonesia atau manusia Indonesia teladan. Kelahiran Jakarta 17 Desember 1942, gugur di puncak Gunung Semeru 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke-27.
Gie manusia dengan kepribadian otentik. Bukan tipikal pejuang oportunis. Gie, tak tergoda jabatan. Ia berani mengambil jarak untuk kritis. Integritas moralnya, keren. Bandingkan dengan yang berada di dalam tapi menggerogoti. Seperti Fadli Zon? Para anggota DPRD DKI Jakarta minus PSI? Atau J. Suryo Prabowo ketua baru KKIP?
Saya nggak ngomongin mereka. Saya sekedar ingin mengingat sepotong sejarah yang manis tentang Gie ini. Bahwa ia pernah berteman akrab dengan Prabowo Subianto, iya, Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi. Itu lantaran tahun 1961 Gie terlibat dalam gerakan bawah tanah anti Sukarno.
Gerakan itu dipimpin Sumitro dengan membantuk wadah GPI (Gerakan Pembaruan Indonesia) setelah era kegagalan pemberontakan PRRI/Permesta atas kekuasaan Sukarno (Daniel Dhakidae, pengantar ‘Catatan Seorang Demonstran’. Lebih detail John Maxwell, yang membuat disertasi tentang Soe Hok Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual, kedekatan mereka setelah sepulang Prabowo dari Swiss, menarik beberapa aktivis muda GPI untuk berpartisipasi dalam proyek pembentukan sukarelawan pembangunan di seluruh Indonesia. Model Peace Corps ala Indonesia.
Namun seiring waktu, Gie mulai meragukan kemungkinan rencana itu. Ia mempertanyakan kemampuan Prabowo, yang dianggapnya cerdas tapi naif. Apalagi paruh kedua 1969, Gie mulai mengkritik keras Sumitro dan para pendukungnya, yang dianggap tak sesuai harapan sejak bergabung pemerintah Orba. Gie muak pada lingkaran politik yang disebutnya sebagai 'kaum sosialis salon'.
Sejak awal Juli 1969, Gie tak lagi terlibat proyek yang digagas Prabowo. Dalam catatan hariannya (22 Mei 1969), Gie menilai program Peace Corps Prabowo tak memiliki konsepsi jelas. Gie juga memiliki kesan “kurang simpati” ketika ia diberi tahu Jopie Lasut, soal kelakuan Prabowo yang mencuri 3 pucuk AK (Auto Kalashnikov, yang kala itu menjadi perangkat organik ABRI) untuk dipergunakannya mengacaukan acara GMNI yang tengah memperingati “menteri-menterinya” yang tewas dalam perjuangan melawan KAMI.
“Saya katakan bahwa saya tak setuju untuk bertindak demikian. Saya setuju teror, tapi kalau berani, laksanakan pada koruptor,” tulis Gie (14 April 1969). "Bagi saya Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romatiknya. Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas tapi naif,…” tulisanya (Minggu, 25 Mei 1969).
Tapi Gie dan Prabowo memang sempat akrab. Buktinya? Sebelum ke Semeru pada Desember 1969, Bowo (panggilan akrab Gie untuk Prabowo) meminjamkan sepatu gunungnya kepada Gie. Dan itulah juga, sepatu yang dikenakan Gie, hingga ia meninggal di Puncak Mahameru.
Tentu bukan hanya sepatu itu, tapi aa meninggalkan diary, yang kemudian menjadi buku ‘Catatan Seorang Demonstran’. Karena ia memang seorang demonstran, yang konsisten. Ia pengritik Sukarno tetapi juga Soeharto. Gie aktivis lingkungan yang mendirikan grup Mapala di kampusnya, UI, dan mengutip syair Walt Whitman, "Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi."
Dalam usia mudanya, Gie penulis yang produktif, meninggalkan banyak pemikiran. Ia teladan indah untuk sebuah komitmen. Dalam diary-nya, ia seolah telah menabalkan takdirnya, "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."
Sugeng milad, Gie..
No comments:
Post a Comment