"Dudung Efek dan Kejutan-Kejutan Politik Kekinian"
Oleh : Raylis Sumitra ( Aktivis 98 dan Penulis )
Harus diakui, pencopotan baliho memecah kebekuan situasi politik nasional akibat polarisasi politik agama yang berlangsung sejak Pilkada DKI 2018. Tindakan berani yang dilakukan Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurahman ini. Tentu saja diharapkan mampu memberikan efek kejut bagi elite politik nasional lainnya untuk sadar. Bahwa konflik ontologis kenegaraan hanya akan menjadikan bangsa ini semakin terpuruk.
Tindakan tegas tersebut mulai terasa dalam kontiliasasi politik nasional. Mengurai semua motif kepentingan elit yang bersembunyi dalam perjalanan bangsa ini dalam bernegara. Yang selama ini dikemas dengan bermacam-macam kedok.
Apa saja itu kejutan itu ?
Pertama, terjadi perubahaan pola elite yang berseberangan dengan pemerintah. Kelompok ini biasanya bersembunyi dengan isu-isu Islam sebagai kedoknya. Memainkan logosentris untuk menciptakan simpati masyarakat. Dengan metode dakwah kebencian dan fitnah.
Tentu saja tujuannya resonansi kebencian tersebut membesar. Lalu, diarahkan untuk melegitimasi pemerintahan. Sistem ketatanegaraan pun sebagai proses demokrasi yang sudah menjadi konsensus. Dilangar untuk sebuah kepentingan yang sempit.
Pola ini mulai terurai. Kelompok pertama yang bermanifeskan, elite anti NKRI, elite yang terusik kepentingan ekonominya, dan elite sakit tersebut. Mulai merubah polanya. Cara pertama dengan logosentris tidak berhasil lagi.
Ya, seperti dalam tulisan sebelumnya yang dimuat di http //m.rri.co.id/surabaya/humaniora/tren/933614/pencopotan-baliho-membongkar-logosentris-politisasi-agama. Dalam tulisan tersebut, kelompok diatas memanfaatkan datangnya Habib Riziq Shihab untuk membangkitkan kembali perlawan. Dengan cara mendramatisasi kedatangannya di tanah air.
Karena telak ter-dekontruksi dengan sikap tegas pencopotan baliho. Kelompok ini pun merubah pola gerakannya. Muncul adzan dengan ajakan berjihad, lalu persekusi Ibunda Menkopulhukam Mahfud MD di Madura.
Tidak hanya itu saja, diduga kelompok ini juga memainkan isu gerakan separatis di Papua dan Di Aceh. Pernyataan Benny Wenda yang ingin memerdakan Papua. Dan Pengibaran Bendara GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Dengan bangunan narasi yang konspiratif. Yaitu, terpilihnya Presiden Baru Amerika Serikat Joe Bidden.
Narasi ini sebenarnya, hanya rangkaian produksi keresahaan masyarakat saja. Tujuannya tetap sama melegitimasi pemerintah.
Lalu, Kejutan Kedua. Kejutan kedua yang tidak lepas dari efek dekontruksi tersebut, penangkapan dua menteri kabinet Jokowi. Selama kurang dua pekan publik dikejutkan dengan penangkapan KPK Menteri Kelautan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara.
Bila melihat pososi keduanya. Mereka berdua mempunyai kedudukan penting dalam koalisi partai pendukung pemerintah Jokowi. Edhy Prabowo yang terjerat dalam kasus ekspor benih lobster. Dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Prabowo Ketua Umum Gerindra. Sementara Juliari Batubara tercatat sebagai Wakil Bendahara PDI Perjuangan.
Penangkapan tersebut memberikan efek kejut luar biasa kepada publik. Karena selama ini khalayak selalu diarahkan dengan isu-isu pemerintah melakukan pelemahaan terhadap KPK. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) kini telah keluar ke Lembaran Negara sebagai UU Nomor 19 Tahun 2019. Peraturan tersebut merupakan Perubahan dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pembentukan narasi terhadap pelemahaan KPK itupun dibuat dengan cara mengorbankan kepentingan masyarakat. Demonstrasi dibeberapa daerah hingga berujung perusakan fasilitas umum.
Inilah efek kejut yang mulai dirasakan. Pemerintah Jokowi sudah tidak bisa lagi menyimpan kedok-kedok elit yang bersembunyi didalamnya. Sudah saatnya, ketegesan mengatasnamakan kepentingan bangsa yang lebih diutamakan. Karena problematika bangsa ini hanya bisa dituntaskan mengesampingkan konflik elite dan kelompoknya. Negara harus berdiri atas dasar kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia
https://m.rri.co.id/go/Z6VFjKX
No comments:
Post a Comment