*Yth Pak JK: Pak Jokowi Minta Dikritik,*
*Bukan Dihina Apalagi Difitnah!*
Oleh: Andre Vincent Wenas
*Apa sih susahnya membedakan kritikan dengan hinaan atau fitnah?*
Begitu sulitnyakah? Sampai-sampai seorang JK pun mesti mengajukan pertanyaan yang – maaf nih Pak – rasanya agak konyol!
Di laman berita Kompas.tv (Sabtu, 13 Februari 2021, pagi jam 00.45) tertera judul berita begini, “Tanggapi Jokowi, Jusuf Kalla: Bagaimana Caranya Kritik Pemerintah Tanpa Dipanggil Polisi?”
Lalu polemik di ruang publik. Instan reaksinya. Ada yang meledek-ledek Pak Jokowi, dan tentu ada yang “mempertanyakan tingkat kecerdasan seorang JK”. Masa sih gitu aja gak tahu?
Di hari yang sama, hanya beda jamnya saja, istana pun merespon lewat jubir Fadjroel Rachman.
Katanya, "Jadi apabila mengkritik sesuai UUD 1945 dan peraturan perundangan, pasti tidak ada masalah. Karena kewajiban pemerintah/negara adalah melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak konstitusional setiap WNI yang merupakan HAM tanpa kecuali."
Dan tentu saja di era medsos ini Fadjroel juga menyinggung soal UU ITE. Singkatnya, pagar-pagarnya sudah ada dan jelas.
Selain pagar-pagar hukum, juga ada “pagar” etika, hati-nurani, kejujuran, tingkat kecerdasan (literasi) dan tentu saja niat baik.
Apa itu definisi (pengertian) kritik dan syarat untuk bisa disebut kritik kok rasanya tak perlu diulang-ulang lagi disini ya.
Atau perlu?
Ya sedikit saja, tanpa bermaksud menggurui, etimologis atau asal katanya dari bahasa Yunani “Kritikos” (dapat didiskusikan). Kritikos itu sendiri berakar dari kata “krenein” yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. Ada lingkaran interpretasi disitu. Ini jelas proses kerja intelektual.
Maka kritik adalah proses analisis dan evaluasi, yang tujuannya demi meningkatkan pemahaman, sekaligus berkontribusi dalam peningkatan kinerja serta memperluas apresiasi terhadapnya.
Dan syaratnya ya mesti kritis, bukan nyinyir lho ya. Kritis ya artinya mampu mengamati dengan tajam (obyektif), menimbang dengan bijak dan membandingkan dengan adil. Inilah lingkaran hermeneutikanya, atau proses interpretasi atau penafsirannya.
Beda sekali dengan istilah buzzer (atau istilah lokalnya: pendengung).
Yang ini cuma seperti sekawanan lebah, mendengung, artinya bergumam-nyinyir terus menerus, tak jelas argumentasinya (lantaran logika memang tak penting disini). Yang penting asal nyahut.
Tujuannya semata hanya bikin berisik, atau mengalihkan isu dan atau juga untuk – ini lebih canggih – membelokan opini publik.
Dalam proses komunikasi, para pendengung itu lebih terposisikan sebagai ‘noise’. Pengganggu proses komunikasi. Semakin mendengung semakin tinggi tingkat ‘noise’-nya.
Dampak dari ‘noise’ terhadap proses penyampaian (sending) serta proses pencernaan (decoding) pesan menjadi terganggu. Terjadi distraction, distortion, kebingungan (confusing), dan teralihkan dari pokok soal (distracted), atau malah penggiringan opini tadi.
Contoh, pemerintah menindak pihak-pihak yang melanggar hukum, kebetulan si pelanggar hukum adalah pemuka agama. Maka para pendengung ini akan mendengungkan bahwa pemerintah telah menzolimi pemuka agama, dan bahkan dibumbui dengan tuduhan: memusuhi agama tertentu.
Ini khan penyesatan opini yang luar biasa jahat dan ngawur.
Apalagi kalau dengungannya bukan sekedar nyinyiran dan hinaan, tapi juga bernada hoaks (berita bohong) yang implikasinya adalah fitnah.
Di era medsos, situasinya jadi “lebih rumit” sedikit.
Dimana kehadiran media sosial macam Twitter, Facebook, YouTube, Instagram atau Blog (seperti Kompasiana, Seword, MoJok), dll, adalah media yang boleh dibilang “sangat terbuka”.
Siapa saja bisa punya akun, dan bisa meng-upload – hampir – apa saja yang ada di benaknya, dan siapa pun juga bisa mengomentari, jadi followers, atau merasa perlu untuk membagikan (share) postingan itu ke komunitas lainnya. Liberal banget deh.
Dan manakala, seorang komentator itu konsisten dan semakin banyak dirujuk oleh para netizen (warga internet) maka ia bakal jadi semacam ‘social-influencer’. Orang yang punya pengaruh sedemikian rupa untuk membentuk opini-publik.
Persis di titik inilah kita mesti kembali ke “pagar-pagar” yang disebutkan di atas tadi. Secara aturan hukum yaitu UUD, UU ITE, dll. Secara aturan moral ada hati nurani, rasa keadilan dan tentu saja budi pekerti serta kebijaksanaan batin.
Partisipan dalam wacana komunikasi di ruang publik mesti bisa membedakan mana yang kritik (kerja intelektual), mana yang cuma nyinyir dan hinaan (ini sekedar emosi). Ini indikasi luka batin, dendam, bahkan kebodohan, atau memang ada agenda tersembunyi? Walahuallam.
Jadi,
Pak JK yang terhormat, jelaslah bahwa Pak Jokowi minta dikritik, bukan dihina, apalagi difitnah!
“Well, if what you want to tell me is neither True nor Good nor even Useful, why tell it to me at all?” – Socrates.
14/02/2021
Andre Vincent Wenas, Direktur Kajian Ekonom
No comments:
Post a Comment