Strategi Menanamkan Karakter Toleransi
Namun, akhir-akhir ini dosa intoleransi kembali terulang dan kerap terjadi di sejumlah sekolah yang nota bene tempat belajar tentang berbagai perbedaan. Peristiwa di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat terkait penggunaan seragam sekolah bagi siswi non muslim memantik kegaduhan di berbagai tempat. Sebenarnya kejadian serupa juga pernah terjadi di tahun-tahun lalu.
Menurut survei UIN Jakarta menunjukkan bahwa sebanyak 48,95% responden siswa atau mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain (Muthahhari, 2017). Selain itu, kasus intoleransi juga pernah terjadi pada salah satu sekolah menengah atas di Yogyakarta tentang sikap kepala sekolah yang intoleran terkait waktu penyelenggaraan kegiatan sekolah yang bersamaan dengan hari raya keagamaan lain yang minoritas di sekolah tersebut (Kumparan, 2018). Hal ini menunjukkan perlu adanya penguatan pendidikan karakter toleransi di lingkungan sekolah sejak usia dini.
Dengan adanya kejadian tersebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim langsung bertindak tegas dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait pemberian sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi pihak yang terbukti terlibat. Untuk mengatasi hal tersebut, Nadiem mengatakan akan membuat surat edaran (SE) dan membuka hotline pengaduan terkait adanya praktik intoleransi (Kompas, 24/1/2021). Intoleransi berasal dari keyakinan bahwa komunitasnya, sistem kepercayaan, atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Sehingga menyebabkan beberapa konsekuensi mulai dari kurangnya penghargaan sampai dengan diskriminasi yang dilembagakan.
Penanaman karakter toleransi
Pendidikan karakter toleransi perlu diajarkan dan ditanamakan sejak usia sekolah dasar. Salah satu hal penting dalam menanamkan karakter toleransi bisa dimulai dari lingkungan terdekat yaitu lingkungan keluarga dan sekolah. Meskipun terkadang media sosial juga berperan penting dalam memengaruhi karakter toleransi anak, akan tetapi lingkungan keluargalah yang utama dan pertama dalam membentuk karakter toleransi anak. Salah satunya yaitu perlunya pengawasan yang ketat dan selektif bagi orang tua terhadap konten-konten media sosial yang dilihat anak.
Usia sekolah dasar merupakan usia emas bagi anak dalam hal interaksi sosial. Pada usia ini anak senang bermain, bergerak, bekerja kelompok, meniru, dan sudah bisa merasakan atau memperagakan suatu gerakan (Suyati, 2013). Ketika anak sudah bisa bekerja dalam kelompok maka perlu ditanamkan karakter toleransi dalam diri mereka, sehingga kemungkinan untuk membanding-bandingkan atau intoleran dengan teman dalam hal apapun tidak akan terjadi. Apalagi pada usia sekolah dasar, anak masih memiliki sifat egosentris (berpusat pada diri sendiri) yang kuat dan mudah menerima informasi apapun. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik terlibat dalam menanamkan karakter toleransi dalam diri anak.
Strategi menanamkan karakter toleransi dan menghapus dosa intoleransi, bisa dilakukan pihak sekolah dalam membiasakan karakter toleransi dalam diri siswa. Sehingga hal itu mencegah kasus intoleransi yaitu; pertama, respect (rasa hormat). Tanamkan kebiasaan saling menghormati satu sama lain dalam diri siswa atau anak. Hal ini bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti meminta izin ketika meminjam sesuatu, menghargai orang lain ketika berbicara, berbicara dengan bahasa yang sopan dan santun, berbagi makanan tanpa melihat perbedaan (bisa dilakukan ketika kegiatan makan bersama), adanya fasilitas sekolah yang menunjang bagi semua warga sekolah.
Kedua, rules (aturan). Sekolah harus membuat peraturan atau tata tertib yang tidak memihak satu kelompok atau agama tertentu. Seperti dalam hal berpakaian (seragam sekolah), biaya yang harus dibayarkan siswa sama dan tidak memandang dari segi perbedaan suku, budaya, ras, atau agama tertentu. Ketiga, pemberian contoh. Belajar dari kasus yang ada, pihak sekolah harus bisa menjadi teladan bagi siswa dalam mengambil sebuah keputusan dan bertindak. Misalnya memberikan penghargaan bagi siswa sesuai dengan prestasinya atau memberikan hukuman bagi siswa sesuai dengan kesalahannya tanpa memandang suku, ras, atau agama.
Keempat, keterlibatan orangtua. Pihak sekolah bisa bekerja sama dengan orang tua siswa dalam hal penanaman pendidikan karakter toleransi pada diri anak. Misalnya melibatkan orangtua siswa dalam membuat peraturan sekolah, mengadakan sosialisasi parenting tentang penanaman karakter toleransi pada anak.
Hal yang bisa dilakukan orang tua untuk membiasakan karakter toleransi pada diri anak yaitu; pertama, sediakan waktu bagi anak untuk bercerita tentang keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia, mulai dari suku, rumah adat, budaya, seni, bahasa, agama dan yang lainnya. Kedua, pendampingan dan pengawasan orangtua terhadap media sosial anak. Ketiga, ajak anak untuk mengenali diri sendiri Bersama dengan temannya sehingga anak tahu perbedaan potret diri dengan orang lain.
Dengan beberapa strategi tersebut harapannya kasus intoleransi di Indonesia khususnya di lingkungan sekolah tidak lagi bermunculan. Tentunya dibutuhkan saling kesepahaman antar individu, keluarga, bertetangga dan dalam masyarakat lingkup kecil demi keselarasan kehidupan. Kerena keragaman Indonesia adalah kekayaan sekaligus berkah bagi bangsa Indonesia. Sudah seharusnya, sesama masyarakat saling menjalin kerukunan demi kokohnya nilai-nilai luruh Pancasila.
Tika Aprilia, Peserta Peningkatan Skill Menulis bagi Tenaga Pengajar Se-Indonesia
Sourcre: https://apps.mediaindonesia.com/read/detail/383707-strategi-menanamkan-karakter-toleransi
No comments:
Post a Comment