Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto mengatakan bahwa dalam menggunakan media sosial (medsos) sebetulnya banyak peluang yang bisa dilakukan masyarakat para pengguna medsos itu untuk tetap menjaga sikap rasional
“Saya kira kita harus belajar berpikir terbuka dalam melihat perbedaan komentar dari berbagai pihak di media sosial. Karena orang bisa belajar melihat mana komentar dangkal, mana yang mendalam dan mana orang yang nalarnya bagus dalam menggunakan di medsos,” ujar Bambang di Bandung, Rabu (29/1/2019). (baca teris artikel manarik berikut di bawah ini...👳👴👷👇 )
[ https://news.iniok.com/2021/01/perlu-cara-berpikir-terbuka-dan-kritis.html ]
Hanya saja kemudian Bambang menyayangkan para anggota grup-grup ada di berbagai media sosial yang umumya belum bisa memfilter informasi dengan baik, sehingga yang dilihat hanya yang sesuai dengan ideologi dari grupnya saja.
“Tentunya hal seperti ini kemudian menyebabkan terjadinya ‘pembenaran diri secara terus menerus di kelompok itu. Cara terbaik menghadapi medsos akhirnya adalah dengan memperdalam kemampuan untuk merenung atau reflektif diri dengan membiasakan membaca esai atau tulisan-tulisan berbobot. Ini agar daya kritis kita bisa terus terasah,” kata pria yang juga dosen di Fakultas Filsafat Unpar ini menjelaskan.
Lebih lanjut, pria kelahiran Tasikmalaya 6 Maret 1956 ini juga menyampaikan bahwa ada banyak hal yang bisa menjadi penyebab dari penyebaran intoleransi dan juga radikalisme di medsos.
“Pertama, krisis identitas dimana individu atau kelompok merasa tidak dihargai dalam lingkungan sosialnya kemudian dia mencari pelarian di medsos. Kedua, emosi yang labil, hal ini rentan untuk dipermainkan dan disusupi oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan,” tutur Bambang.
Oleh karena itu pria yang merupakan ahli di bidang filsafat kebudayaan serta paradigma postmodernisme ini menyarankan agar masyarakat untuk selalu dapat bersikap kritis dalam menggunakan media sosial untuk membentengi diri agar tidak mudah terprovokasi yang bersumber dari satu pihak atau golonga tertentu saja.
Hal ini juga sekaligus sebagai upaya masyarakat itu sendiri untuk membentengi dirinya agar tidak mudah disusupi paham-paham radikalkisme negatif dan melakukan perbuantan intoleransi terhadap pihak lain yang berbeda baik dari segi pandangan, pilihan keyakinan dan sebagainya.
“Dalam arti begini, kita harus melihat bahwa radikallisme itu jelas-jelas destruktif, dan tentunya tidak mungkin dikehendaki Tuhan. Karenanya perlu kekuatan masyarakat yang kritis untuk bersatu menolaknya, dengan cara apa pun sejauh manusiawi dan non-violent meskipun memang tidak mudah,” ujarnya.
Lebih lanjut peraih gelar Doktoral dari Pontifical University of Saint Thomas Aquinas, Italia ini mengungkapkan bahwa kaum milenial sebagai populasi terbesar di medsos harus dibiasakan untuk melihat perbedaan sebagai suatu keindahan dalam cara berpikir.
“Dimana cara-cara berpikir yang indokrtinatif perlu dihindarkan, dan diganti dengan keberanian untuk mempertanyakan dan meragukan setiap opini dan fakta yang ada. Sikap kritis itu natural, karena otak manusia itu diciptakan Tuhan memang untuk berpikir. Hal-hal mendasar dalam hidup perlu didiskusikan, tidak cukup dijawab dengan doktrin, ayat, atau sembhayang,” ucapnya.
Selain itu pria yang juga anggota Asosiasi Filsafat Indonesia (Asafi) ini juga menyampaikan perlunya peran serta dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran paham radikalisme yang menyebar melalui di media sosial agar tidak semakin masif dan menjangkiti masyarakat.
Hal ini tentunya bisa dengan melakukan program kontra radikalisasi terhadap masyarakat umum dan juga terhadap para generasi muda di lembaga pendidikan yang selama ini dinilai rentan terpapar paham-paham radikalisme negatif itu.
“Saya kira kontra radikalisasi itu perlu dijalankan sejak pendidikan dasar dengan memupuk sikap pluralis dan toleran terhadap yang berbeda. Sebetulnya saya lihat pemerintah sudah ke arah itu. Saya melihat BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sudah sering melakukan hal itu baik di lembaga pendidikan seperti kampus-kampus dan juga masyarakat. Hanya saja hal seperti itu perlu lebih diintensifkan lagi agar masyarakat ini memiliki daya tahan terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang bisa memecah belah bangsa kita ini,” pungkasnya. (Very)
VIDEO.IniOK.com
Jakarta, INDONEWS.ID – Pasca berakhirnya orde baru, bangsa ini telah merayakan kembali kebebasan berekspresi melalui reformasi setelah lama terkungkung dalam dominasi dan hegemoni negara. Namun kebebasan yang terjadi justru dimaknai berlebihan oleh sebagian orang.
Kebebasan berekspresi sejatinya juga menghargai hak dasar orang lain. Sedangkan kebebasan yang berlebihan saat ini justru melahirkan intoleransi yang tidak bisa menerima perbedaan itu.
Dan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tentunya bisa dijadikan sebagai acuan dan senjata ampuh bagi masyarakat Indonesia untuk melawan intoleransi itu.
Dengan memagang teguh pada Pancasila itulah Benny meminta seluruh elemen masyarakat untuk terus bersatu melawan dan menolak adanya intoleransi yang terjadi di sekitarnya. Intoleransi itu jika dibiarkan berkembang di masyarakat justru dapat menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
“Masyarakat harus berani menolak penyebaran kebencian yang menyebarkan bibit-bibit permusuhan yang bisa merusak persatuan bangsa. Biasanya intoleransi itu muncul dari ujaran kebencian. Kalau itu terjadi masyarakat harus laporkan hal itu kepada pihak berwajib ketika konten-kontennya berisi ujaran kebencian tersebut muncul. Jangan didiamkan,” tutur Pria Kelahiran Malang 10 Oktober 1968 terebut.
Lebih lanjut Benny mengungkapkan bahwa penanaman nilai-nilai Pancasila itu dapat menjadi acuan hidup sehari-hari di masyarakat sangat penting untuk menghindarkan bangsa ini dari intoleransi.
“Harus ada pendidikan nilai-nilai Pancasila, baik di dalam pendidikan nilai-nilai sekolah, nilai keluarga, nilai masyarakat. Karena sejatinya itu adalah tradisi yang telah lama ada di masyarakat Indonesia seperti saling respect, kemudian gotong royong serta guyub rukun bersaudara. Jadikan itu sebagai acuan hidup di masyarakat” jelas Romo Benny.
Oleh karena itu menurut Benny perlu peran serta pemerintah dan pejabat terkait untuk memberikan contoh keteladan kepada masyarakat dalam menjalankan Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya.
"Pejabat publik harus menyerukan bahwa kita ini adalah bangsa yang sejak awal terdiri dari ribuan etnis, suku dan agama serta agama-agama lokal juga. Maka kemudian perlu contoh keteladan misal dari kepala daerah untuk mempraktekkan. Maka kepala daerah harus konsisten menjalankan pancasila itu. dan itu harus dilakukan terus menerus sebagai contoh,” tutur anggota Gerakan Suluh Kebangsaan itu.
Selain itu rohaniwan Katolik itu juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan tidak boleh ragu-ragu dalam menghadapi intoleransi. Karena hal ini sebagai upaya untuk melindungi masyarakat yang merasa terancam dari adanya ujaran kebencian itu. Dia memberikan contoh intoleransi itu tentang ancaman yang berkaitan dengan kebebasan masyarakat untuk berkeyakinan dan beragama.
“Jadi ketika ada orang yang melakukan ancaman, intimidasi dan dengan sengaja melarang kebebasan beragama orang lain, polisi harus bertindak karena itu sudah mengganggu ketertiban umum. Karena Pancasila menjamin setiap orang untuk mengekspresikan keagamaannya, dan negara menjamin setiap orang untuk memeluk agama masing-masing dan itu harus itu dihormati,” kata Alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang tahun 1996 ini.
Benny juga mengatakan bahwa perlunya sosialisasi dari pemerintah terkait peraturan-peraturan yang ada sehingga bisa meminimalisir terjadinya gesekan di masyarakat.
“Misalnya peraturan PBM (Peraturan Bersama Menteri) tentang peraturan pendirian rumah ibadat. Itu jelas bahwa yang namanya pendirian rumah ibadat keluarga itu tidak perlu ijin. Seperti kasus di Bantul itu (kasus penolakan pendirian gereja) tidak perlu terjadi karena itu ibadat keluarga, bukan ibadat permanen. Yang ijin itu ibadat permanen seperti pendirian masjid, gereja, pura dan sebagainya. Tapi kalau orang kebaktian dirumah itu tidak perlu ijin,” tegasnya.
Hal tersebut menurutnya juga tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 tentang hak-hak kewarganegaraan untuk bebas beragama. Dimana masih banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai hal tersebut sehingga perlu adanya sosialisasi kembali.
No comments:
Post a Comment