*Mewaspadai Wabah Intoleransi di Sekolah*
Jakarta - *Terkait pencegahan terorisme dan paham radikal di sekolah*, Presiden Joko Widodo dan Mendikbud Muhadjir Effendy terjadi silang pendapat. Presiden dalam pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, 29 Mei lalu menyatakan bahwa program deradikalisasi salah satunya harus dilakukan di sekolah.
*Sementara Mendikbud pada kesempatan yang berbeda menyatakan, antiterorisme* tak perlu masuk kurikulum sekolah (Detikcom, 30/5). Ini menarik untuk ditanggapi karena hemat saya Mendikbud kurang arif dalam mewaspadai benih-benih terorisme dan radikalisme di sekolah.
*Ada viral kabar tobat dan pengunduran diri seorang guru PNS di SMPN 1 Subang* dari ketua HTI kabupaten Subang. Dia menyebut bahwa tidak hanya dirinya, tapi banyak juga guru-guru lain yang tergabung dengan ormas yang akan dibubarkan pemerintah tersebut. Ini menunjukkan fakta yang selama ini tak tampak di muka, bahwa paham-paham intoleran dan radikal sudah menyusup di institusi yang paling vital dalam membentuk karakter generasi muda, yaitu sekolah.
Apakah benar, virus intoleransi sudah mewabah di sekolah-sekolah kita? Beberapa penelitian ternyata sudah menunjukkan kebenaran fakta ini.
*Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta* pada Desember 2016 merilis hasil riset yang menunjukkan, banyak guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di tingkat pendidikan dasar dan menengah cenderung berpaham eksklusif dan bersikap tak toleran terhadap kelompok yang berbeda paham dengan mereka, baik Islam maupun non-Islam.
*Mayoritas guru PAI tersebut menolak kepemimpinan non-muslim*. Persentase penolakan mereka terhadap orang di luar Islam memegang jabatan publik sangat tinggi. Misalnya pada tingkatan kepala daerah sebesar 89 persen, kepala sekolah 87 persen, dan kepala dinas 80 persen. Mayoritas mereka (81 persen) juga tidak bersedia memberikan izin pendirian rumah ibadah agama lain di wilayahnya.
*Data itu meskipun tidak bermaksud untuk mengeneralisir*, tapi setidaknya mewakili pendapat publik di lokasi penelitian yaitu 11 kab/kota dari 5 provinsi: Aceh Besar, Pidie, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Solo, Mataram, Lombok Timur, Makassar, Maros dan Bulukumba.
Jika guru-gurunya saja mempunyai pemahaman yang demikian, maka dapat dipastikan bahwa sikap intoleran dan paham radikalisme justru bersemai sejak dini, ketika anak-anak belajar di bangku sekolah. Kenyataan ini diperkuat dengan penelitian lain, misalnya dilakukan Balai Litbang Agama Makassar (BLAM) pada 2016. Menurut hasil riset ini, 10 % siswa SMA berpotensi radikal.
*Penelitian Wahid Foundation bekerja sama dengan LSI* (2016) dengan sebaran 1.520 siswa di 34 provinsi menyebutkan, 7,7 % siswa SMA bersedia melakukan tindakan radikal. Penelitian Setara Institut (2015) terhadap siswa SMA di Bandung dan Jakarta menyebutkan sebanyak 7,2 % setuju dan tahu dengan paham ISIS.
*Hasil-hasil penelitian tersebut menyebutkan angka yang sama yakni* di bawah kisaran 10% terhadap siswa SMA/SMK yang tergolong radikal. Meskipun persentasenya kecil, tetapi jika 10% dari jumlah siswa maka menemukan jumlah yang banyak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi kenapa mereka memiliki sikap seperti itu.
*Pertama, kurang adanya pendidikan toleransi di sekolah*. Kedua, pendidikan keagamaan yang dilaksanakan saat ini lebih cenderung kepada doktrin dan simbol, kurang mengakomodasi substansi agama itu sendiri dalam perspektif yang universal. Dengan kata lain, pendidikan agama yang dilakukan di sekolah-sekolah saat ini masih gagal. (lanjutkan baca artikel di bawah... 👪👫ðŸ‘👇)
https://news.iniok.com/2021/01/mewaspadai-wabah-intoleransi-di-sekolah.html
Brenda Watson dalam Education and Belief (1987) pernah mengatakan ada tiga sebab utama yang menjadikan gagalnya pembelajaran agama di sekolah-sekolah. Pertama, proses pendidikan yang diajarkan guru lebih mengarah kepada proses indoktrinasi sehingga pembelajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan.
Kedua, lebih menekankan pada pembelajaran agama yang bersifat normatif-informatif. Ketiga, kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru.
Ketiga penyebab di atas, disadari atau tidak, telah membuat pola pikir anak didik kurang terbuka. Pembelajaran yang normatif disusul dengan doktrin-doktrin keagamaan yang tak terkontrol dapat membuat cara pikir satu arah sehingga anak didik tidak mau menerima masukan, dan bahkan perbedaan. Sebagai dampaknya, mereka pun akan menyetujui atau membenarkan aksi kekerasan untuk membela kelompok atau agamanya.
Melihat kenyataan di atas, maka ada dua titik rentan yang mudah disusupi di lingkungan sekolah: guru dan peserta didik. Para guru dan peserta didik harus memahami pentingnya keberagaman dan perbedaan. Ini karena menjaga dan melestarikan keberagaman dalam kebersamaan sangat efektif dimulai sejak dini, yakni dari sekolah.
Sekolah menjadi lembaga publik yang sangat tepat untuk menjelaskan apa makna dan pentingnya kemajemukan dan tenggang rasa antarsesama. Ini karena di sekolahlah pola pikir sekaligus pola interaksi anak yang tidak seragam (heterogen) itu mulai hadir dan terbentuk. Sekolah dengan demikian menjadi "ruang strategis" untuk membentuk mental bagi tumbuhnya watak keberagaman yang kuat.
Mengapa guru dan peserta didik? Karena guru punya dampak yang besar bagi transformasi pengetahuan peserta didik. Bisa ditebak, berapa besar efek yang akan terjadi jika kita intervensi guru. Di Indonesia, berdasarkan data Kemendikbud 2016, ada sekitar 10 ribu guru agama berstatus pegawai negeri sipil Kementerian Agama mengajar di sekolah-sekolah umum (SD, SMP, dan SMA).
Mereka mengajarkan Pendidikan Agama Islam kepada sekitar 34 juta lebih murid. Bayangkan, jika pemahaman intoleransi tetap dibiarkan tumbuh, makan banyak peserta didik yang baru belajar agama pertama kali akan menjada sasaran empuk dan potensial menjadi sumbu pendek atas paham radikalisme dan terorisme.
Untuk itu, penguatan kompetensi guru dan siswa dalam memahami Islam yang moderat (wasathiyah) dan rahmatan lil alamin perlu dilakukan untuk menguatkan pendidikan toleransi di sekolah. Keberagamaan Islam yang sudah mengakar dengan tradisi Nusantara ini juga penting untuk dipahami oleh guru dan siswa, supaya mereka juga memahami bagaimana menjadi muslim Indonesia yang baik.
Hemat saya, ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan dengan kurikulum sekolah, bukan seperti sikap Kemendikbud yang malah menolak mentah-mentah sebelum diuji cobakan. Ini harus ditempuh karena sektor pendidikan merupakan ranah yang sangat strategis bagi pemerintah untuk menunjukkan tanggung jawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus hadir menjaga persatuan dan merawat kebinekaan.
Lingkungan sekolah harus mampu menghadirkan model pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan. Terlepas dari sikap seseorang bersepakat atau tidak terhadap satu agama, ras, suku, dan golongan tertentu, gerakan apresiasi terhadap "yang lain" mutlak diimplementasikan.
Kurangnya toleransi dalam ranah sosial akan berdampak serius dalam keharmonisan hidup antarsesama karena akan menimbulkan sikap tidak menghargai yang lain. Kemajemukan yang sudah didesain Tuhan seharusnya dibarengi dengan sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi pluralitas atas prinsip persamaan, kesetaraan, dan keadilan.
Ubaid Matraji Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) (mmu/mmu)
No comments:
Post a Comment