*POLITIK itu panggung sandiwara ibarat lagu yang ditulis Ian Antono dan Taufiq Ismail berjudul Panggung Sandiwara.* Syair lagu itu, antara lain, ceritanya mudah berubah-ubah. Ada peran wajar, ada pula peran berpura-pura.
Ceritanya mudah berubah-ubah, bermula dari perebutan kekuasaan. Digelar kongres luar biasa lalu mempersoalkan legalitasnya. Ada yang kukuh mempertahankan legalitasnya, ada pula yang menyebutnya sebagai abal-abal. Ada yang membantah kudeta partai politik tertentu, tetapi kemudian tampil sebagai komandannya.
Perang kata dan wacana belumlah cukup. Ceritanya masuk ranah hukum. Ada yang melaporkan ke polisi soal dugaan pemalsuan mukadimah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Lawan politik mendaftarkan gugatan ke pengadilan negeri, menggugat mereka yang dituduh bertanggung jawab atas brutalitas demokrasi.
Pada saat hampir bersamaan, ini menyangkut partai lain lagi, mereka yang terlibat konflik berkepanjangan malah mengaku lelah. Mereka memilih bersatu. Mereka menyapa satu sama lain sebagai sahabat, dalam nada guyon disebut sebagai teman berantam. Mereka bersatu untuk menatap masa depan.
Politik yang membelah, tapi juga bisa menyatukan itu sarat dengan hiruk-pikuk. Yang gampang jadi rumit, yang transparan jadi gelap, dan yang gelap menjadi misteri. Ujung-ujungnya, jika kepentingan berbeda bertemu pada satu titik, tiba-tiba semua melihat cahaya di mulut lorong yang gelap.
Politik sebagai panggung sandiwara itu mudah berubah, seperti kata lagu, karena ada peran wajar, ada pula peran berpura-pura. Dengan meminjam istilah Erving Goffman, individu berbeda karakter ketika berada di panggung depan dan panggung belakang.
*Biasanya di panggung depan itu kebanyakan politikus mengenakan topeng, muka digincu, dan kata ditata agar elok dipandang. Itu pada saat mereka mampu menjaga akal waras.*
Lain lagi kalau tampil adanya apa, bukan apa adanya tanpa merawat akal waras. Saking menggebu-gebu, keluar ancaman akan mengirim santet. Mereka yang alumni Sukamiskin tampil di pangung politik sambil berteriak moral sampai urat leher mau putus. Padahal, mereka berada di Sukamiskin, sel khusus koruptor di Bandung, karena persoalan moral alias terlibat korupsi.
Panggung politik itu benar-benar kehilangan kendali peradaban di tangan orang-orang yang belum matang berpartai. Politik sebagai seni menggapai dan mempertahankan kekuasaan telah dipentaskan di atas panggung secara liar dan brutal. Kehilangan kendali peradaban itulah, dalam bahasa Bung Karno, penyakit partai.
Bung Karno melanjutkan pidatonya pada 1956 itu. "Ada penyakit yang kadang-kadang bahkan lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah! Yaitu penyakit apa? Penyakit kepartaian Saudara-Saudara! Ya, terus terang saja Saudara-Saudara: penyakit kepartaian!"
Tentu saja kita tidak setuju dengan teriakan Bung Karno karena parpol saling sikut dan berkonflik, "Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!"
*Partai politik tidak boleh dikubur karena tidak ada demokrasi tanpa partai. Kata Thomas Meyer, partai politik* merupakan satu-satunya pihak yang dapat menerjemahkan kepentingan dan nilai-nilai masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat. Peran itu tidak bisa dikudeta oleh masyarakat madani.
Kita mendorong partai untuk dewasa menyelesaikan persoalan internal. Bagaimana bicara persatuan dan kesatuan bangsa jika internal partai tidak mampu merawat persatuan dan kesatuan? Tidak ada pemenang dalam sebuah konflik, yang pasti partailah yang kalah.
Percikan pikiran Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti bisa dijadikan pertimbangan. Ensiklik yang diteken pada 3 Oktober 2020 itu menyebutkan bahwa politik harus berpusat pada martabat manusia dan tidak tunduk pada ekonomi.
“Politik yang lebih baik merupakan salah satu bentuk amat berharga dari karya kasih, karena melayani kesejahteraan bersama dan mengakui pentingnya orang-orang. Politik memberi ruang untuk diskusi dan dialog,” kata Fransiskus. Partai mestinya juga menjaga dan meninggikan harkat dan martabat manusia.
*Diskusi dan dialog itulah yang kian menghilang dari tradisi partai politik.* Pertukaran gagasan diganti dengan pertukaran kepentingan. Motif ekonomi dan kekuasaan mulai mengingkari bahkan menginjak-injak martabat manusia.
No comments:
Post a Comment