Dina Sulaeman:
AS Mau "Menolong" Tawanan ISIS?
Ini lanjutan dari status kemarin ya. Saya bilang soal “tujuan jangka menengah” dari upaya adu domba di Indonesia akhir-akhir ini adalah “menjauhkan Indonesia dari China dan Iran” (sebenarnya, satu lagi, lupa disebut: Rusia). Argumen dari pernyataan saya ini adalah perkembangan geopolitik global akhir-akhir ini.
Antara lain, sejak awal tahun 2020, AS itu sudah koar-koar bahwa China dan komunisme adalah ancaman dunia. Narasi ini diulang-ulang dalam banyak kesempatan. Antara lain, bulan Juni lalu, Menlu AS, Mike Pompeo menyatakan akan meningkatkan kehadiran pasukannya di Laut China Selatan untuk menghadang bahaya komunisme. Bahkan, secara khusus Pompeo menyebut INDONESIA sebagai salah satu negara Asia Tenggara yang menghadapi ancaman komunisme. Bulan Juli, Pompeo bilang, "Kami melihat Chinese Communist Party (CCP) sebagaimana adanya, yaitu sebagai ancaman utama zaman ini.”
Kebijakan politik luar negeri AS memang sangat dominatif dan hegemonik. AS akan segera mengantisipasi setiap kali ada, sedikit saja, kecenderungan sebuah negara untuk netral atau berbaik-baik dengan China, Rusia, dan Iran.
Padahal, asal kerja sama ekonomi dilakukan dengan adil, sama-sama untung, seharusnya sah saja, mau kerja sama dengan negara mana pun. Arab Saudi aja bikin kereta cepat Makah-Madinah (Haramain Express) dengan melibatkan perusahaan China kok. Kalau kontrak kerja sama tidak adil, ya itu fokusnya, perbaiki. Bukannya malah heboh menyebar narasi "Indonesia akan dijajah China/komunis" atau "Kalau Indonesia kerja sama dengan Iran, bakal dilibas Syiah tahun 2050".
Nah, saya dulu pernah nulis ya, proksinya AS di Indonesia itu banyak banget. AS menggelontorkan dana bantuan yang sangat besar kepada masyarakat sipil di Indonesia (juga di berbagai negara lain). Pola gerakan lembaga-lembaga penerima dana ini, di hampir semua negara, sangat mirip: kalau ada kebijakan pemerintah yang merugikan AS, muncullah kegaduhan.
Jadi, perhatikan aja, siapa sih yang berisik soal China dan komunis (dan Syiah-Iran)? Satu genk kan?
Perkembangan terakhir di PBB, saya merasa bangga, Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan menjadi Presiden DK PBB (secara bergiliran dengan anggota lain), bersikap tegas “melawan” kemauan AS.
Misalnya, pada Meil 2019 Indonesia mengadakan Arria-Formula Meeting yang mengecam pembangunan permukiman Israel di atas tanah Palestina (Tepi Barat). Wakil AS datang dan berpidato, ngomel-ngomel, menyebut pertemuan tersebut “tidak fair”.
Lalu, pada Agustus 2020, Indonesia dalam posisinya sebagai Presiden DK PBB, menolak permintaan AS untuk mengembalikan semua sanksi terhadap Iran. Tentu saja, perwakilan AS di PBB ngomel-ngomel lagi dong.
Nah sikap Indonesia ini, buat negara searogan AS, sudah jadi problem besar. Belum lagi rencana Indonesia kerja sama ini-itu dengan China.
Terakhir, beberapa hari yll, AS memveto rancangan resolusi yang digagas Indonesia, yaitu terkait “penuntutan, rehabilitasi, dan reintegrasi (PRR) teroris”. Saya kutip dari Sindonews (1/9), “Rancangan resolusi dimaksudkan untuk memberikan panduan yang jelas bagi negara-negara anggota untuk mengembangkan dan melaksanakan strategi PRR yang komprehensif, membangun aspek penuntutan yang kuat, memberikan elemen rehabilitasi dan reintegrasi yang jelas dan praktis, melalui pengembangan metode jangka panjang untuk melawan ekstremisme kekerasan yang kondusif bagi terorisme.”
Nah, apa alasan AS memveto?
Dubes AS untuk PBB bilang, alasannya “Karena resolusi tersebut tidak memuat pasal soal pemulangan tawanan ISIS ke negara asal.”
Dengan kata lain, AS ingin agar anggota ISIS yang saat ini ada di kamp-kamp penahanan di Suriah, segera dipulangkan oleh pemerintah negara asal para teroris itu. Alasannya, kondisi kamp-kamp itu sudah sangat buruk.
Lha ini kenapa kok AS sayang banget sama ISIS? Kok kasian sama nasib mereka, sehingga memaksa negara-negara asal untuk menjemput pulang?
Coba cek jejak digital, kubu/media mana sih yang terlihat pro "pemulangan"? Ada tuh, media yang jauh-jauh meliput ke kamp pengungsian Suriah, bikin laporan menye-menye, betapa menyedihkannya nasib para anggota ISIS. Kalau para teroris pulang, siapa yang senang? Tentu organisasi "induk"-nya dong. Cek lagi, siapa yang selama 8 tahun perang Suriah paling berisik soal "jihad Suriah", "ayo donasi ke Suriah", dll.
Balik lagi: mengapa AS ingin semua teroris itu dipulangkan? Kasian sama teroris?
Tentu tidak. Yang diinginkan AS adalah teroris semakin menyebar ke berbagai penjuru. Lalu negara-negara kerepotan mengurus dan AS akan datang sebagai pahlawan, menawarkan bantuan. Menawarkan SENJATA. Dan tentu, ada konsesi yang diminta: “stop beli senjata dari China/Rusia, jangan jalin kerjasama ekonomi dengan Iran. Pokoknya, kalau mau kerjasama, dengan negara-negara sekutu kami aja.”
Sudah kebayang “pemetaan”-nya ya? Jadi kalau mau punya analisis yang utuh atas kegaduhan di dalam negeri, pakai kacamata geopolitik. Kaitkan dengan perseteruan di antara negara-negara “besar". Yang suka komen “ngapain ngurusin negara orang, urus negeri sendiri aja!” atau "jangan kerja sama dengan China atau Iran, nanti jadi komunis atau Syiah" itu tandanya orang kurang wawasan.
Video: pernyataan Hillary Clinton soal siapa yang awalnya mendanai Al Qaida (yang akhirnya kini beranak-pinak jadi banyak versi, antara lain ISIS).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment