Catatan PSI: 10 Kesalahan Anies Menangani Pandemi Covid-19
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menarik rem darurat dan akan memberlakukan PSBB total mulai 14 September 2020. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencatat ada 10 kesalahan Gubernur DKI Jakarta dalam menangani pandemi Covid-19. PSI berharap agar Anies belajar dari kesalahan-kesalahan itu dan tidak mengulanginya di masa mendatang. Apa saja kesalahan tersebut?
(1) Pemprov DKI agak terlambat melakukan tes swab. Anies menyatakan situasi Jakarta sudah genting pada 3 Maret 2020. Namun, saat PSI melakukan sidak ke laboratorium Dinas Kesehatan pertengahan Maret 2020, ternyata Pemprov DKI belum menyiapkan fasilitas untuk tes swab. Pemprov DKI akhirnya baru melayani tes swab pada awal April 2020.
Selain itu, jumlah tes swab yang dilakukan juga masih rendah. Dari sekitar 10.000 tes yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta, kontribusi Pemprov DKI hanya sekitar 20-25% (kisaran 2.000-2.500 tes per hari). Pemprov DKI beruntung karena di Jakarta ada banyak laboratorium milik pemerintah pusat & swasta yang bisa melayani tes swab.
[https://politikandalan.blogspot.com/2020/09/10-kesalahan-anies-menangani-pandemi.html ]
(2) Contact tracing hanya 6 orang per kasus, seperti yang disampaikan oleh Gubernur Anies pada 9 September 2020. Idealnya, pemerintah harus melakukan contact tracing 20-30 orang per kasus. Jika hanya 6 orang per kasus, maka akan banyak orang tanpa gejala (OTG) yang tidak terdeteksi dan penularan menjadi tidak terkendali.
Untuk mencapai contact tracing 20-30 orang per kasus, dan jumlah kasus mencapai 1.000 orang per hari, sebaiknya Pemprov DKI memperbanyak jumlah tes minimal 10 kali lipat dari kondisi saat ini sehingga menjadi 20.000-25.000 tes swab per hari.
(3) Penumpukan penumpang akibat kelangkaan transportasi umum. Bahkan pada pertengahan Maret 2020 Gubernur mengeluarkan kebijakan konyol, yang diberni nama "efek kejut", yang secara tiba-tiba membatasi operasional bus Transjakarta. Akibatnya antrian menumpuk di halte selama berjam-jam dan warga berdesakan di dalam bus. Secara logika, seharusnya frekuensi bus ditambah agar waktu tunggu makin singkat dan tidak ada ada penumpukan penumpang.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/18/13355411/anies-pembatasan-transportasi-massal-beri-efek-kejut-bagi-warga?page=all
(4) Memberlakukan ganjil-genap yang membuat orang-orang pindah ke angkutan umum. Pada 3 Agustus, Anies memberlakukan ganjil-genap untuk mobil, lalu 19 Agustus membuat Pergub No. 80 tahun 2020 tentang ganjl-genap sepeda motor. Banyak orang memprotes keputusan ini. Tapi gubernur malah underestimate penularan covid di transportasi umum (21 agustus 2020), dengan menyatakan bahwa penularan di angkutan umum itu rendah. Pada 9 September 2020, akhirnya Anies menyatakan akan menghapus kebijakan ganjil-genap selama PSBB. Jadi, yang benar transportasi umum itu berisiko tinggi atau rendah, Pak Anies?
https://news.detik.com/berita/d-5141979/anies-sebut-penularan-corona-di-transportasi-umum-berisiko-kecil
(5) Tidak ada penegakan aturan yang rutin dan konsisten. Pemprov DKI menyusun aturan social distancing & penggunaan masker. Namun, penegakan di lapangan sangat lemah, terutama di di gang-gang kampung, pasar, restoran, kafe, & tempat-tempat keramaian lainnya. Petugas dari Pemprov DKI hanya patroli secara sporadis (sewaktu-waktu).
(6) Pemprov DKI tidak menyediakan tempat khusus untuk isolasi/karantina bagi OTG & gejala ringan. Pemprov DKI malah mengandalkan Wisma Atlet milik pemerintah pusat dan ruang isolasi di Rumah Sakit (RS). Bahkan sebagian besar OTG melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing, sehingga tidak ada jaminan bahwa mereka disiplin di dalam rumah. Seharusnya Anies sejak awal membuat tempat-tempat isolasi/karantina dengan mengonversi rusun, wisma, hotel, expo, atau GOR.
(7) Banyak kasus positif terjadi di kantor Pemprov DKI. Baru-baru ini diketahui bahwa Ketua TGUPP dan beberapa pejabat teras positif Covid-19. Selain itu, masih ada banyak pegawai lain yang terkena covid. Hal ini berarti harus ada evaluasi sistem kerja di dalam birokrasi agar pelayanan masyarakat tdk terganggu. Apalagi menuju akhir tahun seharusnya sudah mulai intensif membahas APBD-Perubahan 2020 dan Rancangan APBD 2021. Cluster perkantoran memang menjadi salah satu sumber utama penyebaran Covid-19, dan itu juga terjadi di Balaikota menjadi kantor tempat Gubernur DKI bekerja. (...teruskan baca di bawah ini ...)
[https://politikandalan.blogspot.com/2020/09/10-kesalahan-anies-menangani-pandemi.html ]
https://news.detik.com/berita/d-5149765/daftar-7-pejabat-pemprov-dki-positif-corona-kadis-hingga-ketua-tgupp
(8) Anies sering memberikan pesan yang membingungkan dan kontradiktif ke masyarakat, seolah-olah kondisi sudah mulai normal. Misalnya, pada 11/3 Anies bilang KRL berisiko tinggi, tapi pada 19 Agustus bikin Pergub 80/2020 utk ganjil-genap motor dan Anies mengklaim penularan virus corona di angkutan umum berisiko rendah. Contoh lain, Anies pada 26 Agustus berenana akan mengizinkan bioskop beroperasi. Padahal, baik para ahli maupun pihak pemerintah menyatakan tentang bahaya penularan virus di tempat tertutup akibat penyebaran droplet berbentuk aerosol yang disirkulasikan oleh AC.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/26/10414971/anies-dalam-waktu-dekat-bioskop-kembali-dibuka?page=all
(9) Anies tidak jelas dan tidak transparan dalam kriteria rem darurat. Seakan-akan Gubernur bisa seenaknya sendiri kapan harus melepas rem dan kapan menarik rem. Anies sebenarnya sudah menyatakan kebijakan rem darurat sejak saat memperpanjang PSBB transisi pada 4 Juni 2020, pada saat jumlah kasus rata-rata berkisar 120 orang per hari. Namun kriteria yang dipakai hanya "apabila kurva penularan Covid-19 melonjak di masa transisi", tanpa ada penjelasan lebih lanjut seperti rem darurat diberlakukan untuk sekian jumlah kasus per hari.
Pertanyaannya, mengapa baru sekarang tarik rem, padahal jumlah kasus Covid-19 sudah mengkhawatirkan sejak 1 bulan yang lalu? Bahkan, saat kasus sekitar 500 per hari pada akhir Juli, Anies malah mengeluarkan kebijakan aneh seperti ganjil-genap untuk mobil (3 Agustus) dan ganjil-genap untuk sepeda motor (Pergub 80/2020 tanggal 19 Agustus).
Agar kesalahan yang sama tidak terulang, Anies sebaiknya mengumumkan apa saja kriteria rem darurat dan skenario-skenario yang akan diambil berdasarkan kriteria tersebut. Dengan demikian, semua warga Jakarta bisa ikut melihat bagaimana keputusan rem darurat ini diambil. Jangan sampai ada kesan bahwa gubernur tidak bersikap obyektif, alias suka-suka gubernur, dalam mengambil keputusan untuk menarik atau melepas rem.
https://metro.tempo.co/read/1349838/anies-siapkan-kebijakan-rem-darurat-jika-kasus-covid-19-melonjak
(10) Bantuan sosial (bansos) terlambat diberikan & pelaksanaannya sangat lambat. Idealnya bansos diberikan sebelum dimulai PSBB, sehingga warga tidak perlu khawatir dengan kebutuhan pokok sehari-hari. Tapi, realitanya pembagian bansos baru selesai dalam waktu 3-4 minggu.
Oleh karena itu, Pemprov DKI perlu memperbaiki pola pembagian bansos. Beberapa alternatif untuk memperbaiki bansos adalah:
a. Mengubah bansos dari pemberian barang menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Cara ini akan sangat mempercepat proses pemberian bantuan. Namun, untuk mencegah kebocoran, perlu dipertimbangkan untuk membagikan secara cash-less.
b. Jika tetap membagikan bansos dalam bentuk barang, maka harus dipastikan bisa dipenuhi dengan cepat. Jangan mengulangi kesalahan di mana warga harus menunggu berhari-hari karena Pemprov DKI kesulitan mendapatkan suplai barang. Akan lebih baik jika Pemprov DKI bisa lebih aktif mengambil suplai barang dari koperasi dan UMKM.
[Jakarta, 10 Sept 2020]
[https://politikandalan.blogspot.com/2020/09/10-kesalahan-anies-menangani-pandemi.html]
No comments:
Post a Comment