*Menkes Terawan Vs* *Mafia Alkes ???*
Sepekan setelah Letjen TNI dr Terawan diangkat sumpah/janji menjadi Menteri Kesehatan RI, ada artikel yang viral tentang realita rumah sakit di negeri ini. Sekalipun belum terkonfirmasi, apakah benar itu terucap (diucapkan) dokter yang pernah diskors Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau pun tidak, tetapi kebenaran narasinya adalah realitas bisnis rumah sakit sekarang ini.
Kira-kira demikian yang saya ingat narasi yang terkesan buka-bukaan itu; orang mengeluh sakit datang ke RS, disuruh opname, diobati dan dipasangi alat, lalu berminggu-minggu di RS bukan malah tambah baik. Seharusnya yang opname itu adalah orang yang sudah emergency yang sangat butuh bantuan merawatnya dst...dst.
Pengalaman beberapa orang sahabat, apa yang diucapkan Terawan (dalam narasi tadi) itulah yang mereka alami di rumah-rumah sakit di negeri ini. Bisa sampai beratus juta rupiah uang terkuras, penyakitnya tidak kelar.
Terus apa yang terjadi ? Pergi berobat ke negeri jiran Malaysia atau Singapura. Tiga atau empat hari di sana, dokter bisa mendiagnosa penyakit ybs lebih akurat. Biayanya tidak sampai setengah dari yang sudah dikeluarkan, diagnosanya berbeda dan tidak perlu sampai opname (rawat inap).
Kalau masyarakat Medan sekitarnya tentu ke RS di Penang, yang jaraknya lebih dekat dibandingkan ke Jakarta. Ongkos penerbangan juga jauh lebih murah. Sehingga setiap ada orang sakit, selalu ada orang yang merujuk ke RS di Penang. Penerbangan Penang-Kualanamu-Penang (sebelum Covid) ada 2-3 kali sehari, pada umumnya diisi calon pasien dan keluarganya. Yang pasti, rumah-rumah sakit di Penang dan kota lain di Malaysia sangat membumi di kawasan Sumatera.
Terus, apakah itu menjadi "pukulan berat" bagi IDI ? Merekalah yang tau. Tetapi harus diingat, tidak jarang anggotanya yang lebih realistis merujuk ke RS negeri jiran.
Sesungguhnya apa yang terjadi ? Sebab SDM dokter-dokter di negeri ini juga tidak kalah dengan dokter negeri jiran.
Sejak saya masih kuliah (awal 80-an) hingga sekarang, mahasiswa asal Malaysia banyak kuliah di Fakultas Kedokteran USU. Dua tahun lalu ketika saya opname di RS Haji Adam Malik, ada beberapa mahasiswa praktek (koas = coassistent) asal Malaysia masih ada di sana juga.
Bahkan menurut pengakuan seorang sahabat ketika berobat di Malaysia, dokter di sana geleng-geleng kepala ketika menyodorkan hasil diagnosa dokter di Medan. Pada hal, kata dokter di Malaysia itu, dokter RS yang di Medan itu adalah kolega sekaligus dosennya dulu. Ada sejumlah obat yang diresepkan, seharusnya tidak perlu jika diagnosanya demikian, kira-kira seperti itulah kata dokter Malaysia.
Fenomena berobat ke Malaysia luar biasa di kawasan Sumatera Utara. Bahkan sampai liryk lagu Batak/Simalungun juga ada; "tu dokter Penang pe nungnga huboan" (judul lagu Pulungan Ni Ubat).
Kenapa semua bisa terjadi ? Kembali kita simak apa yang disebut Terawan (sekali lagi: sebatas narasi artikel itu), ada bisnis besar terjadi antara RS dengan mafia Alkes/obat-obatan. Para dokter yang menjadi operator RS, tidak kuat (tergoda, barangkali) atas berbagai tawaran medical representative.
Lihat saja di rumah-rumah sakit, berjubel medical representative di pintu ruang dokter. Terkadang sudah kurang patut, di hadapan pasien calon pemakai obatnya, mereka "bersenyum ria" dengan dokter. Komisi atau fee obat ke dokter, kisaran 10 s/d 35 persen (investigasi majalah Tempo). Makanya setiap resep (obat paten), selain kita membayar jasa dokter kita juga "dipalak" lewat obat-obatan.
Makanya tidak jarang dokter memandang pasien jadi "ladang bisnis". Begitu juga dengan rumah-rumah sakit. Barangkali inilah yang disorot Terawan --tadi.
Sejalan dengan itu, wajar saja bila dokter Terawan harus segera disingkirkan mereka. Selain sejak awal tidak disukai IDI, sepertinya membuka kedok para "pebisnis nyawa" itu.
Maka ketika terjadi Covid 19, Terawan jadi bulan-bulanan. Orang yang tidak menyukai kehadirannya, terindikasi membuat jebakan besar.
Masih ingat apa kata Terawan tentang Covid 19 ? Di awal sekali ia menyebut, virus ini tidak berbahaya apabila tubuh kita kuat, sebab akan sembuh sendiri.
Reaksi keras langsung berhamburan. Seluruh media menyorotnya, ketika Covid semakin menyebar. Seolah yang berkomentar lebih tau spesifik virus dari Terawan. Pada hal, dia politisi dengan latar belakang ilmu agama.
Kenyataannya seperti itu. Banyak pengidap Covid tanpa gejala. Yang berbahaya adalah bagi orang dengan penyakit bawaan yang imun tubuhnya lemah.
Karena itulah, kuat atau lemah, tetap harus dihindari. Agar yang kuat fisik, tidak menularkan kepada yang lemah tadi. Maka ada protokol kesehatan, jaga jarak phisyk, pakai masker, rajin cuci tangan, istirahat yang cukup ditambah gizi yang baik/vitamin.
Presiden Jokowi sendiri nyaris terjebak, menyebut serapan stimulus dana kesehatan baru terserap 1.53 persen dari Rp.70 trilyun. Pada hal, dari rapat dengar pendapat (RDP) Menkes dengan DPR, sudah terserap Rp. 331 milyar dari Rp.1,9 trilyun dana tersedia, artinya sudah 17 persen lebih. Sekitar Rp.68 trilyun lagi yang dimaksud Jokowi masih dalam proses aktualisasi DIP Menkeu.
Lalu kenapa Presiden terjebak dengan angka-angka itu ? Saya menyebut mudah-mudahan kesalahan yang disengaja Jokowi, sebagai "paracetamol" situasi terkini. Janganlah sampai itu, ulah para mafia alkes yang ingin menumbangkan dokter berpangkat jenderal bintang tiga itu. Sebab bila itu yang terjadi, istana dipastikan sudah tidak steril lagi dari pemburu rente.
Karena itulah dr Terawan masih perlu jadi benteng Presiden Jokowi dalam bidang kesehatan. Memang dia bukan dokter yang politisi, murni serdadu yang berjiwa "kemanusiaan". Dia pasti dibenci dedengkot IDI, mafia Alkes/obat-obatan karena membuka tabir, mereka pemuja agama yang anti agama yang dianut Terawan, yang bisnisnya terganggu, dll.
Medan, 2 Juli 2020.
(Doan Dohardo Harianja)
No comments:
Post a Comment