Tuesday, August 18, 2020
MEMALUKAN dan MENYEDIHKAN - GUSTI ORA SARE
KISAH PILU THE SIN NIO, PEJUANG WANITA BERETNIS TIONGHOA YANG DITELANTARKAN
“Kepada Bapak Presiden Joko Widodo, daripada Anda memberikan anugerah Bintang Mahaputra kepada si duo F, lebih baik bintang jasa itu diberikan kepada para pejuang kemerdekaan yang sejati, salah satunya Alm. Ibu Brigjend. TNI (Purn) The Sin Nio.” MERDEKA ! 🇮🇩
* * * * *
Siapakah Brigjend. TNI The Sin Nio ?
Oleh : Ir. Azmi Abubakar (Dewan Pakar Perhimpunan INTI, Partai Solidaritas Indonesia - PSI)
Perempuan Tionghoa ini adalah pejuang kemerdekaan Indonesia asal Wonosobo, Jawa Tengah.
Beliau ikut bertempur melawan Belanda dan bergabung dalam Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18, dibawah komando Sukarno (terakhir berpangkat Brigjend dan pernah menjadi Dubes RI untuk Aljazair).
Yang istimewa, Sin Nio adalah satu2nya prajurit perempuan dalam kompi tersebut.
Semasa berjuang, Sin Nio pada awalnya hanya bermodalkan senjata sederhana berupa golok, bambu runcing dan tombak. Sampai akhirnya suatu ketika gadis pejuang tersebut berhasil merampas senapan jenis LE dari pihak Belanda.
Dari bagian tempur, kemudian Sin Nio dipindahkan kebagian perawat atau palang merah, karena ada kekosongan juru rawat, padahal banyak sekali pejuang yang terluka dan butuh perawatan medis. The Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik.
Setelah kemerdekaan dan kondisi negara mulai aman, srikandi ini memutuskan menikah dan akhirnya memiiliki 6 anak dari 2 orang suami, yang keduanya berakhir dengan perceraian.
Sebagai janda dengan 6 anak, tentu hidup Sin Nio sangatlah berat, dan hal ini membulatkan tekad keberangkatan dirinya dari Wonosobo ke Jakarta.
Keputusan ini juga diakibatkan oleh karena pejuang ini tak mendapatkan pensiun, yang semestinya adalah haknya sebagai pejuang kemerdekaan.
Keberangkatan nya ke Jakarta untuk mengurus hak pensiunnya. Saya menduga ini karena Sin Nio berasal dari etnis Tionghoa, sehingga pensiunnya dipersulit.
1973, pejuang ini sampai di Jakarta dan menumpang tinggal selama 9 bulan di Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia di Jalan Gajah Mada.
Kemudian setelah itu beliau terpaksa hidup menggelandang di Ibukota, satu pilihan menyedihkan bagi seorang pejuang bangsa, bayangkan perempuan pejuang berusia sekitar 60 tahun harus hidup menggelandang dikerasnya ibukota. Kehujanan kepanasan tanpa tempat tinggal yang jelas.
Perjuangan panjang akhirnya pada tanggal 29 Juli 1976 The Sin Nio berhasil mendapatkan pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Surat Keputusan pengakuan The Sin Nio dikeluarkan oleh Mahkamah Militer Yogyakarta.SK ini ditandatangani oleh Kapten CKH Soetikno SH dan Lettu CKH Drs.Soehardjo, juga sebagai saksi mata ditandatangani ooeh Mayor TNI-AD Kadri Sriyono (Kastaf Kodim 0734 Diponegoro dan Dr R.Brotoseno (dokter militer pada Resimen 18 Divisi III Dipinegoro.
Tragisnya, SK tersebut tidak diiringi dengan hak pensiunnya, sehingga Sin Nio tetap hidup sebagai gelandangan. Beliau hidup menggelandang diseputaran disekita pintu air tak jauh dari mesjid Istiqlal Jakarta.
Uang pensiun sebesar Rp 28.000,- per bulan akhirnya dapat diperoleh beberapa tahun kemudian. Tapi uang sebesar itu tak mampu mencukupi kebutuhan lainnya, sehingga Sin Nio hanya bisa tinggal di gubuk tanah pinggiran rel kereta api milik PJKA.
The Sin Nio bersikeras tak mau pulang lagi ke Wonosobo, bahkan dia tak pernah lupa untuk tetap mengirimkan uang kepada anak cucunya di kampung halaman.
“Saya tak mau merepotkan anak cucu saya, biarlah saya hidup sendiri di Jakarta, meski dalam tempat seperti ini!".
Jiwa pejuang sejati!
Pernah ada janji dari Menteri Perumahan, Cosmas Batubara, bahwa Sin Nio akan diberikan rumah di Perumnas. Tapi janji tinggallah janji.
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. The Sin Nio telah mempertaruhkan nyawanya diujung peluru demi tegaknya kemerdekaan Indonesia, tapi apa balasan yang didapatnya?
Tak diketahui, bagaimana kisah akhir kehidupan pejuang bangsa ini, apakah kemudian beliau menghilang begitu saja, atau dia menghindar dari kita bangsa Indonesia, dan berucap :
"Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!"
#75TahunIndonesiaMerdeka🇮🇩
#IndonesiaMaju🇮🇩
#NKRIHargaMati🇮🇩
==============================
Artikel Lainnya :
Kisah heroik Kakak beradik Alex dan Frans Mendur, fotografer PEMBACAAN TEKS PROKLAMASI.
Jika saat ini kamu bisa melihat foto Presiden Soekarno membacakan teks Proklamasi maka sudah patutnya kamu berterima kasih pada sosok kakak beradik, Alex Mendur dan Frans Mendur. Berkat dua orang bersaudara itu, hingga saat ini saksi bisu hari paling penting untuk bangsa ini bisa kita lihat.
Padahal tak ada instruksi untuk keduanya mengambil foto saat teks Proklamasi dibacakan. Frans Mendur hanya tak sengaja mendengar kabar dari harian Asia Raya. Pun kakaknya, Alex Mendur yang berprofesi sebagai fotgrafer kantor berita Jepang waktu itu.
Keduanya langsung bergegas ke kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Cikini, Jakarta dengan membawa kamera masing-masing. Dengan mengendap-endap, Mendur bersaudara berhasil merapat di lokasi tepat pukul 05.00 pagi. Rupanya hanya mereka berdua, fotografer yang hadir di hari paling penting bagi bangsa Indonesia itu.
Alex dan Frans berhasil mengabadikan beberapa foto detik-detik proklamasi Indonesia. Namun usai upacara, mereka berdua disergap tentara Jepang. Alex ditangkap, kameranya disita, hasil fotonya dibakar. Sementara Frans berkilah, ia mengaku negatif filmnya telah dirampas Barisan Pelopor padahal telah dikubur dalam tanah. Tentara Jepang pun berhasil ia kelabuhi.
Setelah dirasa aman, keduanya lalu menggali tanah tempat negatif film dikubur. Tak menunggu lama, film itu kemudian dicetak. Butuh keberanian dan mental baja. Mendur bersaudara harus diam-diam menyelinap di malam hari, memanjat pohon, dan melompati pagar hingga akhirnya menemukan lab foto. Sebab jika tertangkap Jepang, bukan tak mungkin Mendur bersaudara dihukum mati. Tanpa foto karya Frans Mendur, maka proklamasi Indonesia tak akan terdokumentasikan dalam bentuk foto.
Mendur bersaudara lahir di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Alex Mendur lahir pada 1907, sementara adiknya Frans Mendur lahir tahun 1913. Kala itu nama Mendur bersaudara sudah terkenal di mana-mana. Keberadaan mereka diperhitungkan media-media asing.
Untuk mengenang aksi heroik Mendur bersaudara, keluarga besar Mendur mendirikan sebuah monumen yang disebut "Tugu Pers Mendur". Tugu ini berupa patung Alex dan Frans serta bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu.
Tugu Pers Mendur didirikan di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, di tanah kelahiran mereka. Di dalam rumah itu terdapat 113 foto karya Mendur bersaudara yang diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Februari 2013.
MEMALUKAN dan MENYEDIHKAN - GUSTI ORA SARE
Reviewed by JMG
on
August 18, 2020
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment