Tuesday, January 7, 2020
Sandiwara di Panggung Darurat
Putut Trihusodo
Kalau saja sudetan Kali Ciliwung itu sudah berfungsi, Kampung Pulo tak harus kebanjiran. Terowongan air bawah tanah sepanjang 1,2 km dari Bidara Cina ke hulu Kanal Banjir Timur di Kebon Nanas, itu bisa memangkas debit Ciliwung 70 m3 per detik. Jadi, bisa mengurangi arus Ciliwung sekitar 20 persen saat banjir besar di Tahun Baru 2020 itu. Maka, air tak akan melintasi bibir tanggul warisan Gubernur Ahok BTP tersebut.
[https://politikandalan.blogspot.com/2020/01/sandiwara-di-panggung-darurat.html]
Sialnya, baru 50 persen digarap, ada gugatan class action dari warga terkait sebagian tanahnya. Proyek terhenti. Gubernur baru tak menunjukkan antusias untuk melanjutkannya. Baru belakangan, Pemprov DKI mau lagi diajak KemenPUPR untuk melanjutkan proyek itu, dengan menempuh jalan kompromi ke warga (hal yang dimungkinkan dalam hukum perdata).
Gubernur Anies tidak menunjukkan minatnya pada pekerjaan rekayasa aliran sungai. Baik sudetan atau normalisasi sungai. Faktanya, dari 33,7 km target normalisasi Ciliwung baru 16,3 km yang rampung, dan itu seluruhnya dikontribusikan oleh Gubernur Ahok BTP. Sumbangan Gubernur Anies? Gak terlihat. Tak tampak ada normalisasi kali lagi.
Yang dilakukan hanya menerbitkan Pergub DKI No. 31/2-19 (diteken Maret lalu) tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumberdaya Air dengan Konsep Naturalisasi. Pergub itu mau mengembalikan ekosistem sungai, danau, situ, embung (pesisir tak termasuk) sebagai mana seharusnya dengan kualitas air sesuai dengan baku mutu. Keren.
Uniknya, ada klausul bahwa revitalisasi itu dilakukan dengan syarat tersedia lahannya. Kalau kalau tidak? Ya udah, nggak usah kerja. Pergub itu didramatisir oleh Dinas SDA dengan ketentuan teknis bahwa turap beton tegak seperti di era Gub Ahok Basuki nggak ada lagi. No more. Turap harus batu bronjongan yang landai selebar 12 meter. Lantas, ada jalur hijau penahan erosi, jalan inspeksi, baru kesananya boleh ada rumah, jalan, ruko dll. Kalau harus memenuhi kaidah ini, sempadan dan badan Sungai Ciliwung lebarnya paling kurang 75 meter.
Jelas tak ada tanah nganggur selebar itu di DKI.Jadi, Pergub itu seperti menjadi pembenaran bagi Anies untuk tidak melakukan apapun di Kali Ciliwung, Kali Krukut, Kali Pesanggrahan dll. Enak kan nggak usah ribut sama rakyat. Ingat, waktu Ahok BTP bikin Ciliwung jadi selebar 35-50 meter (termasuk turap dan jalan inspeksi), pun sampai berantem-berantem sama warga, dan ujungnya dikafir-kafirin.
Narasi Bodong
Gubernur Anies seperti tak peduli soal sudetan dan normalisasi. Perlu dicatat disini, bahwa dalam kedua proyek itu, Pemprov DKI bertugas dalam penyediaan lahan (berpotensi ribut dengan warga), sementara proyek fisiknya ditangani PUPR. Kalau Gubernur tidak lakukan pembebasan tanah, jelas proyek mandek. Strategi itulah yang terkesan sengaja dilakukan Anies. Banjir? Who cares?
Banyak alasan bisa dibikin. Cuaca ekstrim lah, otoritas di hulu nggak bikinaksi pengendalian, pun narasi bodong bahwa tanggul normalisasi sungai pun gak bisa menjamin rumah warga terlindung (ingat istilah debat pokrol bambu). Justeru, pada saat aksi tanggap darurat banjir itulah ia bisa tebar pesona, seraya memainkan jurus playing victim.
Pada kesempatan lain, ia pun tebar pesona dengan teori-teori bodong tentang drainase vertikal, zero run-off, naturalisasi, pembenahan kawasan hulu, sumur resapan, atau yang lain, yang intinya Pak Gub mau ngeles. Apa yang bisa diharapkan dari lahan terbuka hijau yang tinggal 9,8%? Berapa juta m3 vol sumur resapan diperlukan? Catat saja, berapa volume sumur resapan untuk menampung hujan malam tahun baru di Kompleks Bandara Halim saja? 500 ribu meter kubik.
Kalau dibikin 10 juta m3 saja sumur resapan di ribuan tempat di Jakarta (misalnya), itu akan berpotesi membuat ekosistem underworld yang mungkin saja sangat mengerikan: ada milyaran tikus disana, jutaan ular kobra dan ular piton, trilyunan kecoa, kelabang dll. Perlu kajian mendalam soal ini.
Apa Anis dan timnya yang besar dan mentereng ini sebodoh itu? Pasti tidak. Tapi, mitos-mitos seperti diproduksi agar Pak Gubernur nggak harus kerja yang berpotensi merelokasi warga. Ntar ribut, Ini soal strategi 2024. Harus diadjust dengan keterbatasan nyali dan kompanilitas moral.
Bagi Gub, Anies sepertinya langkah paling strategis itu ialah nggak usah ngapa-ngapain biar nggak ribut sama warga. Soal reklamasi misalnya, ia hanya membuat IMB saja, karena prosesnya sudah nggak bisa lagi dibendung di dua pulau? Lantas 15 yang lain. Yang lain didiemin saja. Dicabut tidak, tapi lanjut juga enggak. Sikap yang indesicive. Nggak usah kerja, toh nanti citra bisa dimainkan dengan politik identitas.
Standar Ganda
Nggak jelasnya ihwal reklamasi ini membuat proyek tanggul NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) nyaris mandeg. Saat NCICD dimulai 2014, pembiayaaan program ini disepakati tanggung renteng dari pemerintah pusat, pemprov DKI, dan para developer pulau reklamasi - sebagai kontribusi tambahan. Begitu Anies jagi gubernur, proyek ini stop. Padahal, developer sudah bikin tanggul 2,1 km dengan pilar-pilar beton berbentuk pipa (diameternya hampir sedepa) yang menancap 15 m ke dasar laut.
Toh, akhirnya Gubernur Anies setuju melanjutkan program NCICD ini (meski pun agak males-malesan). Kalau nggak setuju, dia bakal nggak bisa ngeles apa kalau ada musibah rob dan abrasi. Targetnya 39,4 km (termasuk muara sungai). Sisa yang 37,4 km dibagi dua : PUPR 16,5 km dan Pemprov DKI 20,8 km. Realisasinya PUPR 9,3 km dan Pemprov 4,5 km (sebagian dari zaman Ahok).
Kok bisa Gub Anies setuju? Padahal tanggul-tanggul (turap) pesisir itu tingginya 3,5 meter di atas muka laut pesisir. Sangat tidak natural dan pasti tidak sesuai konsep naturalisasi. Bahkan, warga Penjaringan dan Angke sebagian tak bisa melepas pandangan ke laut lagi dari beranda rumahnya. Terhalang turap raksasa. Ada stadar ganda dalam konsep naturaliisasi terkait perairan.
Apa boleh buat. Subsidensi (penurunan air laut) di Jakarta Utara sudah mencapai 7,5 cm/tahun. Tanpa tanggul dan taggul, perkampungan di pesisir utara Jakarta akan tenggelam tersapu abrasi. Kini, dengan proyek NCICD itu Pak Gub punya alasan bila diprotes soal banjir rob. Tinggal bilang, sabar saja. Nanti air rob tak datang lagi kalau tanggul selesai.
Terhadap bencana akibat air limpasan hujan, abrasi pantai dan subsidensi tanah, Pemprov DKI terkesan kini tak sungguh-sungguh menunjukkan komitmennya. Kalau dia mau cegah subsidensi agar tak menjadi lebih buruk, mustinya ya tingkatkan catu daya air PDAM supaya eksploitasi air tanah berkurang.
Saat ini sekitar 45% warga DKI masih memanfaatkan air sumur (termasuk di gedung-gedung tinggi). Hanya 55% yang dijamin PDAM. Sekitar 80% air baku PDAM masih bergantung pasokan Waduk Jatiluhur. Toh, Gub Anies tak berrgegas menyongsong pasokan air baku dari Bendungan Barian, Lebak, Banten, yang punya potensi menyediakan tambahan bagi setidaknya 1 juta warga DKI.
Terhadap bencana hidrometeorologi, Gubernur Anies justeru terkesan menikmati atraksi sandiwaranya di tengah suasana tanggap darurat bencana. Ia bisa menjalani scene playing victim secara sempurna. Ia seperti tak benar-benar peduli dengan isu mitigasinya. Kalau yakin konsep naturalisasinya bisa bekerja efektif, mengapa dia takut menyampaikannya secara publik dan mengurai target-target yang terukur?
Namun, Pak Gub yang satu ini memang luar biasa. Manuvernya tak terduga. Ia bisa ikut menumpangg arus pendangkalan nalar dengan isu-isu identitas untuk ambisi politiknya. Lebih jauh, ia un seperti bisa menikmati erosi nalar dalam membangun rationalitas tata kelola wilayah ibu kota. Menyedihkan.
[https://politikandalan.blogspot.com/2020/01/sandiwara-di-panggung-darurat.html]
Sandiwara di Panggung Darurat
Reviewed by JMG
on
January 07, 2020
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment