Wednesday, October 9, 2019
PESAN UNTUK CENDANA:
PESAN UNTUK CENDANA:
Karya: Aktivis 98
Jangan Gertak Jokowi
dengan ancaman People Powermu.
Memangnya kalian siapa?
Memangnya kalian punya pengalaman apa?
Kecuali Kudeta berdarah terhadap Kekuasaan yang sah-Soekarno, Sang Proklamator Bangsa.
Jangan pernah gertak
Rakyat dengan People Powermu...
Memangnya kalian siapa?
Memangnya kalian punya sejarah besar apa?
Buku mana yang dalam halamannya mencatat kalian adalah pejuang?
Kalian adalah orang kalap
karena kelaparan atas kekuasaan,
Kalian adalah orang kalah yang tidak
mau mengakui kekalahan, Kalian adalah yang di tahun 98 kami kalahkan dan tumbangkan,
Demi Kekuasaan,
Kalian katakan pemilu curang...
Demi Kekuasaan,
Kalian bersekutu dengan kelompok radikal..
Demi Kekuasaan,
Kalian halalkan segala cara untuk menang,
Demi Kekuasaan,
Kalian pimpin pemberontakan
dengan alasan demi Kedaulatan.
Wahai Cendana dan
Para politikus bajingan,.
Jangan pernah bermimpi akan ada jalan bagi kalian,.
Kembali ke Istana
Untuk mengambil alih Tahta Kekuasaan..
Wahai Cendana dan
Para Politikus Bajingan,.
Kami Aktivis 98, adalah Mimpi Buruk bagi kalian..
-----------------------------------------------------------------------------
- IPB, Para Alumni Dan Kita -
Pada Mei 2018 lalu, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. M. Hamli merilis sebuah pernyataan resmi yang “mengejutkan.” Beliau mengatakan bahwa hampir seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia sudah terpapar paham radikalisme. Yang membedakan hanyalah variasi “tebal-tipisnya” paparan tersebut.
Sontak pernyataan beliau memancing reaksi pro-kontra yang keras di masyarakat, khususnya kalangan akademisi dan perguruan tinggi yang merasa ditunjuk hidungnya. Saya ingat benar, beliau sempat dirundung dimana-mana padahal pernyataan tersebut berangkat dari sejumlah riset, bukan asal bunyi. Apalagi Brigjen Pol. Hamli yang saya kenal adalah sosok yang sangat hati-hati dalam berbicara, khususnya terkait isu radikalisme dan radikalisasi.
Setahun kemudian, minggu lalu tepatnya, terjadilah penangkapan atas seseorang dengan inisial AB, seorang cerdik cendikia bergelar Doktor, pekerjaan Dosen pada IPB. Tentu saja penangkapan tersebut seakan menjadi penguat atas peringatan yang disampaikan BNPT dan tanpa bisa ditolak lagi, IPB dirundung keras di media sosial. Tak luput Rektor IPB pun menjadi sasaran tembak, padahal saat meeting bersama tahun lalu di sebuah kementerian bersama beliau untuk merancang sebuah acara kebangsaan bagi mahasiswa di IPB, saya melihat ketegasan sikapnya terhadap isu-isu radikalisme di IPB.
Pertanyaannya, patutkah IPB menjadi bahan perundungan hanya karena penangkapan tersebut? Bagi saya jelas tidak. IPB sebagai institusi, saya yakin 100 persen, mendukung penuh eksistensi negeri ini. Radikalisme? Tak perlu naiflah, setiap Universitas Negeri punya cerita sendiri-sendiri tentang isu tersebut. Sebagai Alumni UGM saya tak perlu merasa malu mengakui, bahwa di era 80-an jaringan Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah (KW) IX telah merasuki kampus kebanggaan kami. Saya mengenal secara pribadi beberapa kawan yang bergabung di dalamnya lalu menghilang dari kehidupan kampus. Belakangan, ada di antara mereka yang menjadi tokoh gerakan ilegal tersebut. Selain itu UGM juga punya Aris Sumarsono alias Zulkarnaen, tokoh Jamaah Islamiyah (JI), jebolan salah satu Fakultas di lingkungan UGM. Bagaimana dengan kondisi sekarang? Saya yakin hampir sama dengan apa yang terjadi di perguruan tinggi lain. Subyeknya saja yang berbeda. Dulu NII KW IX, sekarang entah hantu blau yang mana lagi.
Undip? Ada Para Wijayanto, alumninya yang terkenal pintar dan ahli strategi, organisator Neo JI, yang baru sebulan lalu ditangkap di Jawa Barat. UNS mempunyai Bahrun Naim, salah satu tokoh Katibah Nusantara, Detasemen Militer ISIS yang mewadahi kombatan asal Asia Tenggara di Raqqa, Syria. Keduanya adalah “tokoh papan atas” terkini terkait isu ekstrimisme kekerasan di Indonesia. Alumni universitas2 negeri lainnya juga tidak kalis dari isu tersebut, Anda dengan mudah bisa menemukannya saat googling di internet.
Alumni, bukan Lembaga Pendidikannya. Itu fokus kita, keduanya jelas berbeda. Almamater tidak bisa dituntut tanggungjawabnya atas apa yang dilakukan oleh alumninya. jadi yang harus kita cermati adalah alumni yang bekerja di institusi pendidikan tinggi sebagai pengajar, dan memanfaatkan posisinya untuk menyebar luaskan ideologi kekerasan yang ia yakini kepada para mahasiswanya. Ini yang harus dipelototi, ini yang harus dicegah.
Bagaimana caranya? Biarlah Pemerintah yang memikirkan. Apa yang perlu kita lakukan adalah mendukung institusi IPB, membesarkan hati warga IPB, jika IPB sampai kapanpun adalah akronim dari Institut Pertanian Bogor, bukan Institut Pembuat Bom. Dan lebih jauh lagi juga memberikan dukungan penuh kepada para pengambil keputusan di IPB, agar segera mengambil langkah-langkah damage control untuk memastikan bahwa ke depan insiden seperti ini tidak akan terulang kembali.
Haryoko R. Wirjosoetomo
Praktisi Manajemen Risiko dan Anti Terorisme
Tak perlu izin untuk share opini saya.
#Saya_mendukung_IPB
PESAN UNTUK CENDANA:
Reviewed by JMG
on
October 09, 2019
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment