Pengacara senior OC Kaligis yang saat ini mendekam di tahanan menyurati Anies Baswedan untuk memberhentikan Ketua KPK DKI Bambang Widjojanto yang digaji dari anggaran TGUPP sebesar Rp 41.220.000 per bulan itu.
OC Kaligis menulis;
"Menjadi pertanyaan disaat pemerintah giat-giatnya memberantas korupsi dan kejahatan, Anda mengangkat tersangka yang merekayasa keterangan saksi-saksi di MK sebagai pemimpin pegiat anti korupsi di Pemerintahan Bapak Gubernur".
“Apakah pantas seseorang yang berlatarbelakang pidana yang dideponeer dan diberhentikan sebagai Komisioner KPK kemudian diangkat kembali untuk jabatan penting di DKI?”
“Saya yakin Bapak Gubernur bukan pelindung para tersangka pidana untuk duduk dalam pemerintahan bapak yang terkenal bersih, karena bapak sendiri berhasil diangkat sebagai Gubernur karena saya percaya bapak adalah orang yang jujur yang punya penuh integritas dalam mengantar kami rakyat bapak menuju Clean Government”
Rupanya si Bambang Widjojanto ini sampai detik ini masih berstatus tersangka dalam kasus rekayasa pemberian keterangan palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 yang silam.
OC Kaligis juga menyentil Anies Baswedan soal Clean Government sesuai dengan koar-koarnya Anies Baswedan saat kampanye dulu.
Kalau memang niat mau menciptakan Clean Government maka birokrat kotor yang punya rekam jejak masa lalu yang tidak bersih jangan diangkat lagi agar terciptanya penegakan hukum yang bersih dan bebas pidana.
Sekalipun kasusnya Bambang Widjojanto itu sudah dideponeer, namun tetap tidak menghilangkan statusnya itu sebagai tersangka hingga kini.
Selain itu keputusan deponeering kasusnya Bambang Widjojanto itu juga tanpa melalui prosedur yang wajar sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016.
Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keputusan deponeering harus melalui proses konsultasi dengan DPR, Mahkamah Agung dan Kapolri.
Sedangkan dalam kasusnya Bambang Widjojanto itu keputusan deponeering diputuskan secara sepihak oleh Kejakgung kala itu. Entah ada kongkalingkong apa antara Bambang Widjojanto dan Kejakgung saat itu.
Yang dimaksud dengan Deponering menurut pasal 77 KUHAP yaitu pemberlakuan penghentian penuntutan, namun tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan.
Itulah sebabnya karena status tersangka yang masih melekat dalam kasus Bambang Widjojanto, maka dia dipecat dari jabatannya sebagai komisioner KPK.
Pemecatan Bambang Widjojanto sebagai Komisioner KPK juga karena ternyata ditemukan banyak kecurangan dan penyalahgunaan wewenang yang dia lakukan selama masa jabatannya sebagai komisioner KPK.
Salah satunya yaitu soal uang. BPK menemukan adanya penyalahgunaan uang KPK yang tidak dapat dia pertanggungjawabkan.
Karena terbukti bersalah, Bambang Widjojanto pun mingkem dan tidak berani menggugat KPK yang memecat dirinya sebagai Komisioner KPK.
Kembali ke soal surat OC Kaligis, pertanyaannya, mampukah Anies Baswedan memecat Bambang Widjojanto? Saya tidak yakin. Kan slogannya dia keberpihakan.
Selain itu si Bambang Widjojanto ini juga punya jasa yang sangat besar sebagai timsesnya Anies-Sandi untuk memenangkan mereka jadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Memang tipe yang bermasalah model Bambang Widjojanto ini yang sesuai dengan kriteria dan auranya Anies-Sandi dan para kroni-kroni mereka. Bambang Widjojanto, Sudirman Said, manusia-manusia yang penuh dengan kepalsuan.
Bambang Widjojanto dipakai Anies-Sandi tentu punya tujuan terselubung, mungkin saja sebagai bumper untuk menghantam Presiden Jokowi melalui kebijakan-kebijakan Ahok selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Salah satunya yaitu dengan mengungkit-ngungkit kembali kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras dan pembelian lahan Cengkareng yang sudah inkrah secara status hukumnya di Pengadilan.
Mereka sengaja menggiring opini publik bahwa Ahok adalah koruptor kelas kakap yang dilindungi oleh Presiden Jokowi. Ujung-ujungnya tidak jauh-jauh dari modus untuk menimbulkan mosi tidak percaya rakyat terhadap pemerintahan Jokowi.
Tujuan besar mereka lainnya yaitu meracuni alam bawah sadar rakyat lugu soal isu ketidakberpihakan pemerintahan Jokowi kepada rakyat kecil.
Pantas saja Bambang Widjojanto sangat semangat sekali menjamin Anies-Sandi bahwa Pemprov DKI tidak akan rugi mengeluarkan anggaran Rp 28 milliar untuk membayar tim TGUPP, termasuk menggaji dirinya itu.
Alasannya Bambang Widjojanto tidak rugi buang duit Rp 28 miliar untuk menyelamatkan APBD DKI Rp 77,1 trilliun yang akan dikelola Anies-Sandi.
"Maksud saya, lu buang Rp 28 milliar tapi untuk selamatkan ratusan bahkan trilliunan," begitu kata si Bambang Widjojanto ini dengan mantapnya.
Dengan adanya surat dari OC Kaligis ke Anies Baswedan itu, maka seharusnya Bambang Widjojanto mengklarifikasi suratnya OC Kaligis.
Karena jika tidak dia klarifikasi maka akan timbul timbul pertanyaan, apakah akan obyektif upayanya untuk membuka kasus Rumah Sakit Sumber Waras dan lahan Cengkareng yang kini dia lagi utak utik?
Ngemeng-ngemeng soal kasus Rumah Sakit Sumber Waras itu, yang ngungkit-ngungkit lagi kasus basi itu yang jelas adalah orang yang kurang waras.
Kalau transaksi Rumah Sakit Sumber Waras itu dibatalkan, maka pihak yayasan pemilik tanah akan senang, bahagia dan tertawa jumpalitan karena harga tanah sekarang dibandingkan harga tanah saat transaksi dulu jelas jauh lebih tinggi.
Pihak yayasan jelas happy. Sudah dikasih duit ratusan milyaran rupiah plus dapat bunga Bank, sekalipun nanti dikembalikan kalau memang harus batal, harga tanahnya justru akan jauh lebih tinggi sekarang. Yang ngasal itu ya Gabener sama Wagabenernya.
Kura-kura begitu.
Argo
NKRI Harga Mati
Untuk Mbak Titiek Soeharto, tulisan dibawah ini, bagus untuk merefresh ingatan kolektif anak bangsa Indonesia. ================== TITIEK SOEHARTO - KEKEJAMAN REZIM : Pernyataan Titiek Soeharto bahwa di zaman bapaknya tidak ada kekezaman rezim seperti yang dilakukan kini adalah pengelabuan, pembodohan, dan pemutar balikan fakta.
Pemilik nama lengkap Siti Hediati Hariyadi ini, berkata, "Dulu zaman Pak Soeharto nggak kaya begini, kayanya sekarang lebih gila lagi. Makar, makar apa sih? Ini katanya demokrasi, kita sudah reformasi, dan boleh keluarkan pendapat. Belum apa-apa sudah dibungkam," demikian kata Titiek di depan gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2019).
Di zaman Soeharto tidak ada yang berani melakukan makar. Memikirkannya pun tidak, karena yang terancam bukan hanya diri pelaku makar, melainkan seluruh keluarganya. Bahkan seluruh keluarga besarnya!
Ini kesempatan bagi saya untuk memaparkan fakta fakta dan menyampaikan pengalaman pribadi.
Selama Soeharto berkuasa, Ibu saya mencoblos Golkar karena diintimidasi secara halus oleh aparat Koramil di seberang rumah. Bahwa jika punya anak kerja di kantor maka wajib sekeluarganya mencoblos Golkar. Kami anak anak Ibu, semua kerja di kantor di Jakarta – tapi dua di instansi pemerinah dan dua di perusahaan swasta.
Bagi orang desa yang lugu seperti Ibu kami, tak ada perbedaan “kantor pemerintah” dan “kantor swasta”, semua yang “kerja di kantor” wajib mencoblos Golkar. Golkar kepanjangan rezim, sebagaimana Korpri dan ABRI - dimana Koramil menjadi ujung tombaknya.
Ibu saya menyayangi anak anaknya dan dengan caranya melindungi mereka dengan mengikui perintah orang Koramil itu. Mencoblos Golkar demi keselamatan anak anak tercintanya.
Pada masa bapaknya Titiek berkuasa, Golkar bebas menentukan jumlah kemenanganya, 60 persen atau 70 persen. Atau lebih. Dari tiga partai yang ada, PPP dan PDI, hanya pelengkap penderita. Golkar menang nyaris tanpa perlawanan. Dalam sidang MPR, Soeharto pernah mengagas untuk menculik politisi lawan agar kuorum dalam sidang untuk menentukan kemenangannya.
Pada masa bapaknya Titiek berkuasa, saat saya mengawali kerja sebagai wartawan, di tahun 1983, terjadi pembunuhan massal, dengan 532 orang tewas, 367 orang di antaranya akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Umumnya mereka ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat.
Peristiwa penculikan dan penembakan misterius - terkenal dengan sebutan Petrus - terhadap mereka yang diduga sebagai gali, preman, atau residivis itu. Belakangan, diakui Presiden Soeharto, sebagai inisiatif dan atas perintahnya. "Ini sebagai shock therapy," kata Soeharto dalam biografinya, “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”.
Pada zaman bapaknya Titiek berkuasa, ada buruh yang memperjuangkan haknya, upahnya dan disiksa dengan keji. Kemaluannya ditusuk dengan benda tumpul. Nama buruh itu adalah Marsinah, para akisi tak akan ada yang lupa.
Ia dibunuh di usia yang masih teramat muda, 24 tahun. Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya divisum RSUD Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo.
Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.
Satu bulan sebelum Marsinah dibunuh, Presiden Soeharto menghadiri pertemuan Hak Asasi Manusia di Thailand. Dalam forum itu, Soeharto menyatakan RUU Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB tidak bisa diterapkan di negara-negara Asia.
Jenderal tangan besi itu menjelaskan, di Asia warga tak bisa bebas mengkritik pemimpinnya, beda dengan budaya Barat.
Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250.
Pada zaman bapaknya berkuasa ada model cantik, Dietje Budiarsih Budiono namanya - tewas mengenaskan akibat dibunuh. Jenazahnya ditemukan di sedan Honda Accord warna putih di tepi Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 8 September 1986 pukul 22.00 WIB.
Luka yang membunuh Dietje antara lain tembakan di bagian lehernya menembus kepala. Kemudian aparat datang membawa skenario, mengumumkan Muhammad Siradjudin alias Pak De sebagai pembunuhnya. Pak De dipaksa mengaku sebagai pelakunya, dengan cara disiksa, bahkan anak laki lakinya disiksa juga agar bapaknya menyerah dan mengaku.
Kematian model cantik itu diisukan terkait dengan skandal yang melibatkan keluarga besar Cendana.
Di zaman Soeharto berkuasa, seorang pengecer buku di kampus, bisa dipenjara di LP Nusakambangan hingga delapan tahun. Buku yang dijual itu adalah novel Tetralogi Pramoedya Anana Toer ('Bumi Manusia', 'Anak Semua Bangsa', "Rumah Kaca', 'Jejak Langkah'), dan kawan saya itu masih hidup sampai sekarang, masih jadi aktifis.
Buku-buku novel itu kini sudah dijual di pasar dengan bebas. Sebenarnya bukan buku berbahaya, bahkan buku sastra bernilai tinggi. Namun pada zaman Soeharto jadi buku terlarang.
Pada zaman bapaknya Titiek berkuasa, ada wartawan yang dibunuh di tengah malam karena berita berita yang ditulisnya. Nama wartawan itu adalah Udin. Terjadi Selasa Malam tanggal 13 Agustus 1996 - Udin didatangi oleh orang yang tidak dikenal lalu dianiaya sampai akhirnya tanggal 16 Agustus 1996 dirinya menghembuskan nafas terakhirnya.
Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin adalah wartawan ‘Bernas’, Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, di depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta.
Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang konflik penguasa lokal yang punya koneksi dengan orang penting di Jakarta. Udin tewas di usia 32 tahun.
PADA ZAMAN SOEHARTO BERKUASA, tokoh tokoh yang berseberangan dengan rezim diasingkan. Para tokoh Petisi 50 ditutup bisnisnya, dengan segala cara. Bank dilarang memberi pinjaman. Bahkan anak cucunya diisolasi. Intel Kopkamib, Laksus bekerja sangat efekif dan mengabdi pada rezim, khususnya kepada keluarga Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.
Anak anak generasi Milenial tidak tahu bahwa Suharto naik tampuk kekuasaan selama 32 tahun, dengan membunuh sekurang kurangnya 78 ribu jiwa (fact finding commision), 500 ribu hingga tiga juta jiwa anggota dan simpatisan PKI tanpa pengadilan - versi redaktur mingguan 'Mahasiswa Indonesia'.- memgutip keterangan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo .
Sebagiannya adalah orang orang yang tidak bersalah, orang yang ikut ikutan, dibantai dengan keji, mayatnya dilempar ke kali, dan darahnya menggangi sungai di semua kali di seantero pulau Jawa.
Sedangkan anak cucunya yang masih hidup mendapat stigma nista keturunan PKI seumur hidupnya.
Karena itu, Titik Soeharto tidak layak bicara kekejaman rezim. Atau kegilaan rezim..
Di Indonesia, simbol kekejaman rezim itu ada di rumahnya, orang yang selama ini membesarkannya, yaitu bapaknya sendiri. *
KERUSUHAN DI JAKARTA ADALAH BUAH REKAYASA TERENCANA.
PARA PESERTA AKSI CUMA KACUNG YANG DIBAYAR MURAH.
Kerusuhan 21-22 Mei yang kabarnya sudah menewaskan 6 orang ini bukan gerakan masyarakat. Yang berperang di lapangan menolak hasil rekapitulasi KPU adalah para kacung yang dibayar murah atau dimanfaatkan ketololannya menyangka mereka berjuang di jalan Allah. Yang menjadi otak di belakang kerusuhan ini masih hidup tenang. Dia mungkin tertawa-tawa. Paling tidak untuk sementara.
Skenarionya sudah jelas terbaca. Coba lihat kronologinya:
1. Begitu Prabowo tahu kalah, langsung dia melontarkan cerita bahwa dia sebenarnya menang.
2. Kebohongan ini terus diulang-ulang, walau dengan angka yang berbeda-beda.
3. Hasil Quick Count difitnah sebagai produk lembaga riset yang dibayar Jokowi untuk menyebarkan kebohongan. Tuduhan ini juga terus diulang-ulang.
4. Di berbagai tempat, tiba-tiba saja bermunculan spanduk dan baliho yang menyatakan Prabowo menang.
5. Kubu Prabowo terus menerus menyebarkan fitnah bahwa KPU curang. Mereka membangun keyakinan bahwa ada kecurangan yang massif, terstuktur dan terencana. Mereka bahkan menyebarkan seruan agar dunia internasional turun tangan (walau mereka tahu dan berharap tidak ada delegasi pemantau internasional datang). Ini semua dilontarkan semua juru bicara dan tim kampanye Prabowo melalui semua media yang ada.
6. Meninggalnya ratusan anggota KPPS dibelokkan menjadi seolah-olah upaya terencana rezim untuk membunuhi para anggota KKPS dengan menggunakan racun agar skenario kecurangan massif bisa berjalan lancar.
7. Prabowo mengatakan tidak akan menggugat hasil rekapitulasi KPU ke Mahkamah Konstitusi, karena tidak ada gunanya. (Walau di hari terakhir, Prabowo menyatakan berubah pendapat). Prabowo bahkan menyatakan akan mengeluarkan surat wasiat, yang sampai saat ini tidak jelas kabar beritanya
8. Puncaknya adalah harus ada kerusuhan saat KPU mengumumkan hasil final pada 22 Mei.
9. Sial bagi mereka, para pembuat bom yang sedianya akan meledakkan bom pas tanggal 22 mei, tertangkap duluan. Bayangkan kalau pada saat demo di depan Bawaslu dan KPU, sejumlah bom meledak.
10. Sial bagi mereka juga, KPU secara cerdik mengumumkan hasil akhir pilpres pada 21 Mei dini hari. Itu mengacaukan rencana pergerakan massa yang semula disiapkan.
11. Sial bagi mereka juga,sejumlah tokoh provokator mereka sudah diamankan terlebih dulu, misalnya Eggy Sujana dan Kivlan Zein. Dua nama lainnya kabur keluar negeri: Haikal Hassan dan Bachtiar nasir.
12. Tapi the show must go on. Demo 21-22 Mei adalah bentuk yang lebih sederhana dari yang semula disiapkan. Tapi toh cukup kuat untuk menggetarkan. Mereka memang sengaja merancang kerusuhan. Para demonstran tidak mau bubar saat Magrib. Karena itu, seperti yang sudah mereka harapkan,
akhirnya terjadi bentrok.
13. Di malam hari itupun semua semula berjalan damai, sampai kemudian datang gerombolan baru yang dengan sengaja menginjak-injak kawat berduri di depan Bawaslu. Mereka juga melempari polisi dengan petasan. Bahkan belakangan pengunjuk rasa melemparkan bom Molotov. Polisi t terpaksa bertindak. Dalam kekacauan yang terjadi di sejumlah titik, tersiar kabar ada yang kena tembak dan tewas. Hampir pasti itu sudah disiapkan seperti penembakan mahasiswa Trisakti terjadi pada 1998. Hampir pasti bukan polisi yang menembak sampai tewas. Tapi itu sudah cukup membangun kemarahan.
14. Lantas muncullah Amien Rais dengan narasi favoritnya: polisi menembaki dan membunuhi umat Islam. Ini diviralkan melalui berbagai media sosial. Ini diharapkan membangkitkan kemarahan umat Islam.
15. Beredar kabar burung bahwa polisi mengejar dan menembaki demonstran sampai ke dalam masjid.
16. Lantas datang pula Anies Baswedan yang langsung sesudah pulang dari Jepang, menjenguk korban tertembak.
17. Bahkan juga dibangun fitnah bahwa yang menembaki demonstran adalah polisi-polisi bermata sipit yang diimpor dari Cina.
Tidak ada yang baru dengan gaya propaganda busuk semacam ini. Mereka akan terus berusaha memanaskan suasana. Mereka berharap kekacauan terjadi. Umat Islam bergerak. Dihambat polisi. Korban berjatuhan. Perang saudara.
Tapi jangan lupa, ini semua adalah peristiwa terencana. Jadi kalau mau menghentikannya, tangkaplah biangnya. Aparat hukum punya alasan cukup untuk melakukannya.
Percayalah, begitu biangnya dicyduk. Gerakan ini akan kocar kacir karena memang pada dasarnya mereka bukan gerakan yang terbangun karena hati nurani. Mereka cuma pion.
Anda tentu sudah bisa menduga siapa yang berada di belakang ini semua.
Dr. Ade Armando
Universitas Indonesia
Monday, May 27, 2019
Surat Terbuka Dari Tokoh Masyarakat
Reviewed by JMG
on
May 27, 2019
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment