Tuesday, May 12, 2020
Anies Lempar Handuk
ANIES LEMPAR HANDUK
Awalnya adalah penolakan dan perlawanan terhadap Jokowi. Bagaimanapun caranya Jokowi harus turun. Bukan Presiden seperti ini yang layak memimpin sebuah negara.
Mereka paham bahwa Jokowi didukung oleh rakyat. Dengan cara terpecah dan pola serampangan, tak mungkin sebuah serangan bisa dijalankan, pasti sia-sia dan mereka, mau tak mau harus bersatu.
Rebut DKI dan jadikan Jakarta basis serangan..!
Namun masalah muncul, karena Ahok Gubernur DKI saat itu, dia sangat diterima dan dicintai warganya. Mengalahkan Ahok adalah kemustahilan.
Cari antitesa Ahok.
Ahok pemarah, cari yang kalem. Ahok kasar, pilih yang santun. Ahok China dan minoritas, cari yang paling disuka kaum mayoritas.
Abbas memenuhi semua kriteria itu, jadilah dia lawan bagi kemustahilan.
Selain memenuhi kriteria tersebut, ternyata Abbas juga pribadi "yang sempurna" untuk ditampilkan sebagai "korban penzoliman" seorang Presiden. Orang baik yang dipecat, begitu kira-kira asumsinya.
Secara teori, kemustahilan hanya akan kalah bila dilawan dgn ketidak laziman. Maka agama, ayat dan mayat sebagai "politik identitas" dihadirkan sebagai lawan tanding yang seimbang bagi kemustahilan tersebut dan..,ternyata sukses..!!
Jakarta telah direbut. Pusat telah dikuasai.
Dua tahun sudah Jakarta dibuat seolah kacau agar kredibilitas sang Presiden petahana, mendapat image negatif dan itu menjadi keuntungan bagi sang penantang, yang tidak lain adalah boss besarnya.
Secara mengejutkan, boss besar justru bergabung dengan pemerintah setelah kekalahannya dalam pilpres.
Kacau balau tim hore terjadi tanpa dapat dicegah. Mereka seperti buta tak miliki pegangan.
Seolah tak ada SOP pasti, bagaimana seharusnya sebuah konsep dijalankan. Jadilah abbas mercu suar ditengah gelombang ketidak pastian itu. Dia menjadi cahaya acak, atas sebuah arah tak jelas yang harus dituju. Dia didaulat menjadi boss baru ditengah kebingungan.
Pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan Jakarta adalah epicentrum. Secara tak terduga Jakarta menempati posisi dengan korban terbanyak. Kepemimpinan sang Gubernur terpilih, diuji.
Dua bulan sudah dia mencoba memimpin pertempuran itu.
Gaya memimpin pertempuran yang aneh, dengan lebih banyak konferensi pers daripada bertindak, tak harus kita buat cacian.
Ujian bagi kepemimpinan yang sesungguhnya telah tiba. Totalitas dan kesungguhan hati seorang pemimpin dituntut hadir.
Jiwa kepemimpinan akan menemukan takdirnya disini. Dan..,dia menyerah...🤕
Abas melemparkan handuk didepan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Dia bilang, DKI tak lagi punya uang untuk Bansos sebanyak 1,1 juta jiwa yang menjadi tanggung jawab DKI.
Beruntung Menteri Keuangan Sri Mulyani cepat tanggap. Dengan sigap dia bergerak sesuai SOP dan arahan Presiden "Tutup semua...!! ga usah ribut, utamakan rakyat..!.”
Abbas menyatakan diri KO. Dia menyerah, karena tak sanggup memberikan Bansos bagi 1.1 juta jiwa warga DKI yang menjadi tanggung jawabnya. Padahal di awal tahun 2020 dengan bangga dia pernah meng-claim, sudah menurunkan jumlah penduduk miskin di Jakarta dari 3.78% menjadi tinggal 3.42% , yang artinya berjumlah 376.200 jiwa. (Penduduk Jakarta 11 juta)
Kemudian ketika dia butuh bantuan untuk warganya akibat Covid-19, melalui tele conference dengan Wapres, dia bilang warga miskin telah menjadi 3.7 juta jiwa.
Pada akhirnya negara telah sepakat dengan angka 4.7 juta jiwa, Pusat memberi bantuan kepada 3.6 juta jiwa dan DKI akan membantu bagi 1.1 juta jiwa sisanya, clear kesepakatannya.
Dan ternyata, tanpa menunggu lama, untuk bagian DKI yang 1.1 juta jiwa inilah Abbas menyerah dan lempar handuk. Dia hanya bilang sudah tidak ada uang lagi.
Tidak ada cash flow.
Alasan tak ada cash flow adalah cara agar negara segera membayar kelebihan Dana Bagi Hasil sejumlah Rp 5.1 triliun yang seharusnya baru akan keluar setelah BPK melakulan audit.
Demi kemanusiaan Menteri Keuangan tanpa menunggu audit BPK pada pertengahan April telah mengeluarkan 50% permintaan tersebut.
DKI telah menerima Rp 2.56 T. DKI seharusnya punya dana Bansos bagi 1.1juta jiwa tersebut, namun..........?
DKI dengan predikat Propinsi paling kaya dengan APBD hingga Rp 90 triliun tak mampu memberi makan warganya yang sedang kelaparan padahal disisi lain negara/pusat sudah mengalah dalam banyak hal.
Disinilah makna kepemimpinan menemukan kejanggalannya.
Jakarta tak memiliki sosok Gubernur yang dapat menjadi pemimpin. Ada sebuah kejanggalan mengapa ibu kota bukan dipimpin oleh seorang yang capable.
Ya.., Abbas sedari awal memang bukan dipersiapkan menjadi seorang pemimpin.
Dia dimajukan karena sebuah alasan politis. Dia maju karena tugasnya adalah menjungkalkan Gubernur petahana. Dia bukan pemimpin. Dia hanya proxy bagi kepentingan yang lebih besar.
"Kalau memang benar sudah lempar handuk, kenapa ga mundur saja?"
Mundur bukan budaya kita, janjian jam 2 datang jam 4 itulah kebiasaan kita...😁
Melalui Mensos, Menteri Keuangan telah memerintahkan adanya audit atas Bansos yang sudah dilakukan oleh DKI.
Bagaimana selanjutnya, hukumlah yang akan berbicara sesuai koridornya.
Melalui pandemi ini, kita disuguhi banyak kisah dari banyak pemimpin daerah, yang mencoba berdiri menjadi Panglima di daerahnya masing masing. Disana ada kegagalan, disana juga ada cerita gemilang, tentang keberhasilan seorang kepala daerah. Dari sanalah nanti akan muncul sosok yang pantas kita jadikan jagoan pada 2024 nanti.
Para pecundang akan tiarap dan tergilas, sementara sang pemenang akan mendapatkan jalannya. Wallahualam
CATATAN /sumber : Tulisan/ utas
Dari Nita ..mv lestari
edit : Dachyar Patria Pattiapon
#SalamBasudaraIndonesia
Anies Lempar Handuk
Reviewed by JMG
on
May 12, 2020
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment