Saatnya Orang Batak Memikirkan Ulang Upacara Adat Di Tengah Pandemi Corona Virus 19
Oleh: Birgaldo Sinaga
Seorang teman kemarin memberi kabar pada saya. Ia sedang dalam pengawasan Covid 19. Ia terpaksa mengisolasi diri sendiri dengan status ODP Orang Dalam Pengawasan.
Tentu saya terkejut. Mengapa bisa?
Ia bercerita, seminggu lalu, ia menghadiri upacara adat pemakaman kerabatnya yang meninggal dunia. Ia hadir di sana.
Orang yang meninggal itu adalah salah satu orang yang punya nama di kalangan orang Batak. dr Laurentius Panggabean, Direktur Utama RS Jiwa Soeharto Herdjan. Ia meninggal pada 12 Maret.
Dalam tradisi adat Batak, upacara kematian bagi orang yang sudah lanjut usia itu biasanya punya upacara adat tersendiri.
Ada 3 jenis upacara. Pertama, Sari Matua. Kedua, Saur Matua. Ketiga, Mauli Bulung.
Upacara adat ini ditentukan dengan status orang yang meninggal tersebut.
Apa syaratnya?
Untuk bisa diadati Sari Matua, orang yang meninggal itu minimal sudah punya anak yang sudah menikah.
Untuk Saur Matua, status orang tersebut semua anaknya sudah menikah, punya anak dan punya cucu.
Yang paling tinggi acara adat Mauli Bulung, syaratnya semua anaknya sudah menikah, masih hidup lengkap, dan sudah punya cucu dan cicit.
Dalam prosesi itu upacara adat bisa lama, bisa 3-5 hari. Dan biasanya jika yang meninggal dunia orang terpandang pelayat bisa ramai sekali. Bisa ribuan orang. Berjubel. Silih berganti orang datang melayat.
Semua kekerabatan marga dari orang yang meninggal tersebut akan ikut dalam upacara adat. Perkumpulan marganya, marga istrinya, marga kakeknya, marga neneknya, marga pamannya, marga mertuanya laki-laki dll.
Intinya semua prosesi adat itu melibatkan lingkaran marga-marga yang berhubungan dengannya. Belum lagi dari jemaat gereja, Serikat Tolong Menolong, perkumpulan marga yang diikuti keluarga di daerah tempatnya tinggal.
Dapat dibayangkan betapa ritual upacara adat Batak melepas kepergian orang tua sangat khidmat dan terhormat sekali. Ini sama seperti seorang militer berpangkat jenderal, pasti dapat upacara pemakaman yang berbeda di banding berpangkat bintara misalnya.
Dalam prosesi upacara adat pemasukan jenazah ke dalam peti, biasanya dilakukan oleh pihak pamannya atau hula2nya. Juga saat diulosi jenazah ke dalam peti. Dalam acara Saur Matua dan Mauli Bulung tidak ada lagi air mata di sana. Malahan kegembiraan. Ada acara manortor.
Hari-hari ini, kita membaca pertemuan2 besar yang melibatkan banyak orang sangat berpotensi menularkan Covid 19.
Kita membaca pemerintah menghimbau agar kita menghindari kontak dengan orang lain.
Sekolah2 diliburkan. Ibadah dalam rumah ibadah diminta libur sampai keadaan benar2 aman dari Covid 19.
Pertemuan2 seminar atau rapat besar diminta ditunda. Orang2 diminta bekerja dari rumah. Kita diminta mengisolasi mandiri dalam rumah.
Nah, bagaimana dengan kita Bangso Batak menyikapi merebaknya wabah Covid 19 ini?
Apa yang terjadi pada keluarga dr. Laurens Panggabean bisa menjadi pelajaran bagi kita.
Beberapa hari setelah dimakamkan, Istri almarhum, Ibu Lusi, dan ketiga anak almarhum dibawa ke RS Persahabatan untuk menjalani tes dan isolasi.
Hasilnya, istri, anak pertama, dan anak ketiga almarhum dinyatakan positif virus corona. Sementara anak kedua dinyatakan negatif.
Teman saya yang hadir melayat dengan kesadaran diri menghubungi rumah sakit. Ia konsultasi di sana. Sekarang ia sedang dalam pengawasan. Ia sempat kontak berjabat tangan dengan keluarga almarhum.
Tapi bagaimana dengan ratusan atau ribuan orang yang sempat melayat dan menjabat tangan keluarga almarhum?
Bagaimana mendeteksi mereka semua? Sulit membayangkan bagaimana seramnya penyebaran virus ini. Dari satu orang, bisa merambat ke ribuan orang.
Sepulang melayat, ribuan orang itu menularkan lagi ke keluarganya di rumah. Ke ribuan orang lainnya lagi. Begitu seterusnya.
Suka tidak suka, mau tidak mau, kita berharap para tetua orang Batak, ketua2 adat, tokoh adat Batak, ketua2 marga, ketua2 perkumpulan Batak sebaiknya mulai memikirkan persoalan ini.
Kita berkejaran dengan waktu. Keadaan bangsa dan negara kita dalam kondisi berat. Dunia juga. Sebagai elemen anak bangsa, kita juga harus ikut bertanggung jawab dalam masalah ini.
Sejauh ini, yang terdengar adalah penghentian ibadah gereja di banyak denominasi. Namun, untuk kasus khusus upacara adat orang meninggal atau perkawinan terutama di daerah rawan DKI Jakarta belum ada kebijakan meniadakan upacara adat.
Memang tidak enak hati. Rasanya gak tega membiarkan keluarga sendirian dalam menghadapi duka cita.
Tapi mau bagaimana lagi. Inilah yang harus kita hadapi bersama. Kita yang menentukan nasib hidup kita. Kita yang membuat tata cara adat. Kita juga yang menentukan semua itu.
Semoga para tokoh adat, tokoh masyarakat Batak, ketua2 marga bisa segera mencari cara terbaik dalam peristiwa ini.
Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment