Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts
Sunday, December 30, 2018
Friday, December 28, 2018
Surat Terbuka untuk Amien Rais
Saudara Amien Rais yang kami hormati,
Setelah memerhatikan perkembangan kehidupan politik di negeri kita Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini, khususnya kiprah Saudara sendirian ataupun bersama Partai Amanat Nasional (PAN), kami sebagai bagian dari penggagas dan pendiri PAN merasa bertanggung jawab dan berkewajiban membuat pernyataan bersama dibawah ini demi mengingatkan akan komitmen bersama kita pada saat awal pendirian partai sebagai berikut:
1. PAN adalah partai reformasi yang menjunjung tiggi kebebasan berpendapat dan menegakkan demokrasi setelah 32 tahun dibawah kekuasaan absolut orde baru yang korup dan otoriter.
2. PAN adalah partai yang berazaskan Pancasila dengan landasan nilai-nilai moral kemanusiaan dan agama.
3. PAN adalah sebuah partai modern yang bersih dari noda-noda orde baru dan bertujuan menciptakan kemajuan bagi bangsa.
4. PAN adalah partai terbuka dan inklusif yang memelihara kemajemukan bangsa dan tidak memosisikan diri sebagai wakil golongan tertentu.
5. PAN adalah partai yang percaya dan mendukung bahwa setiap warga negara berstatus kedudukan yang sama di depan hukum dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, tidak mengenal pengertian mayoritas atau minoritas.
Dengan menggunakan kacamata prinsip-prinsip PAN tersebut diatas, kami mendapatkan kesan kuat bahwa Saudara Amien Rais (AR) sejak mengundurkan diri sebagai ketua umum PAN sampai sekarang, baik secara pribadi maupun mengatasnamakan PAN, seringkali melakukan kiprah dan manuver politik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip itu.
- Saudara makin lama makin cenderung ekslusif, tidak menumbuhkan kerukunan bangsa dalam berbagai pernyataan dan sikap politik saidara..
- Saudara sebagai tokoh reformasi yang ikut berperan dalam mengakhiri kekuasaan orde baru, telah bersimpati, mendukung, dan bergabung dengan politisi yang beraspirasi mengembalikan kekuatan orde baru ke kancah politik Indonesia
- Saudara telah menjadikan agama sebagai alat politik untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan.
- Saudara sebagai ilmuwan ilmu politik telah gagal mencerdaskan bangsa dengan ikut mengeruhkan suasana dalam negeri dalam menyebarkan berita yang jauh dari kebenaran tentang kebangkitan PKI di negeri kita.
- Saudara sebagai orang yang berada diluar struktur utama PAN terkesan berat menyerahkan kepemimpinan PAN kepada generasi berikutnya dengan terus menerus melakukan manuver politik yang destruktif bagi masa depan partai.
Atas dasar pertimbangan semua itu, kami sebagai bagian dari pendiri PAN yang bersama saudara saat itu meyakini prinsip-prinsip yang akan kita perjuangkan bersama, menyampaikan surat terbuka ini sebagai pengingat dari sesama kawan.
Untuk itu barangkali sudah saatnya Saudara mengundurkan diri dari kiprah politik praktis sehari-hari, menyerahkan PAN sepenuhnya ke tangan generasi penerus, dan menempatkan diri Saudara sebagai penjaga moral dan keadaban bangsa serta memberikan arah jangka panjang bagi kesejahteraan dan kemajuan negeri kita.
Salam hormat dari kami semua,
Jakarta, 26 Desember 2018
Abdillah Toha
Albert Hasibuan
Goenawan Mohammad
Toeti Heraty
Zumrotin
Sunday, December 23, 2018
UNTUK HMI YANG UNJUK RASA BELA MUSLIM UIGHUR DI CINA
Ilustrasi saja
SURAT TERBUKA UNTUK HMI YANG UNJUK RASA BELA MUSLIM UIGHUR DI CINA
oleh Novi Basuki, santri yang kini terdaftar sebagai Mahasiswa Sun Yat-sen University, Guangdong, Cina
MOJOK.CO – Santri yang lagi kuliah di Cina ini bikin surat terbuka untuk sahabat-sahabat HMI yang melakukan demo ke Kedutaan Besar Cina di Jakarta soal bela muslim Uighur.
Oke, jadi begini.
Disebabkan kakanda dan ayunda sekalian sudah ngegas duluan dengan menggelar unjuk rasa serempak di beberapa kota wabil khusus di Kedutaan Besar Cina di Jakarta, saya merasa tak perlu untuk banyak berbasa-basi di surat ini. Saya mau langsung ke pokok permasalahan saja.
Begini. Ada satu kalimat dalam Kitab Han (Han Shu) susunan Ban Gu (32–92) yang berbunyi: “Bai wen bu ru yi jian.”
Terjemahan ugal-ugalannya: “Informasi yang didapat dari mendengar penuturan orang sebanyak seratus kali, keakuratannya akan kalah dengan yang diperoleh dari melihat sendiri meski cuma sekali.”
Saya tiba-tiba kepikiran wejangan tersebut sehabis membaca berita berisi pernyataan kakanda Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Ketum PB HMI) yang bilang kaum Uighur di Xinjiang “dilarang beragama” oleh Pemerintah Cina.
Terus terang saya kaget dibuatnya. Awalnya saya kira medianya yang salah kutip. Eh, setelah saya menemukan video di Youtube, ternyata kakanda Ketum PB HMI memang mengatakan begitu dalam orasinya yang heroik di depan gedung Kedubes Cina, kemarin (18/12).
Saya jadi pengin tahu dari mana sebenarnya kakanda Ketum PB HMI mendapatkan informasi itu? Semoga bukan dari Ibu Ratna Sarumpaet ya?
Bukan apa. Sependek dan sesempit pengetahuan saya yang sejak 2010 menimba ilmu di Cina, saya tidak pernah tahu kalau Pemerintah Cina sampai melarang warganya dari suku mana pun untuk menganut agama apa saja yang hendak diimani.
Mau memeluk agama yang mesiasnya bernama Hulaihi Wasalam—umpamanya—ha monggoh. Tak akan ada masalah. Konstitusi Cina menjaminnya.
Makanya, kalau kakanda Ketum PB HMI lagi selo, saya sarankan membaca soal jaminan kebebasan beragama ini dalam Undang-Undang Dasar Cina Bab 2 Pasal 36. Agar nggak ganggu jadwal demo kakanda Ketum PB HMI yang padat merayap, saya bantu kutipkan sekaligus alihbahasakan di sini:
Warga negara Cina mempunyai kebebasan beragama. Instansi negara, kelompok masyarakat, dan perorangan tidak boleh memaksa warga negara untuk menganut agama atau tidak menganut agama.
Tidak boleh mendiskriminasi warga negara yang menganut agama dan yang tidak menganut agama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal (zhengchang de zongjiao huodong). Siapa pun tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warga negara, dan merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan agama.”
Na‘am, yang dijamin sama Pemerintah Cina bukan hanya kebebasan warganya untuk beragama, melainkan pula kebebasan mereka untuk tidak beragama dengan menjadi ateis a.k.a kafir kafah.
Sedangkan bagi yang beragama, Pemerintah akan terus berusaha mengayomi sepanjang aktivitas keagamaannya tetap berada dalam koridor “normal” alias tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku.
Mungkin terkecuali di bumi datar, saya haqqul yaqin tidak akan ada negara mana pun di bumi bulat ini yang akan tinggal diam mengetahui aktivitas keagamaan warganya yang kerjaannya memprovokasi jemaatnya untuk memberontak kepada pemerintahan yang sah, misalnya.
Sialnya, justru hal seperti itulah yang kini terjadi di Xinjiang yang kebetulan penduduknya mayoritas bersuku Uighur penganut agama Islam.
Kita tahu, orang-orang Uighur—terutama yang tinggal di Xinjiang bagian selatan—memang sudah lama ingin memerdekakan diri dari Cina. Bahkan sejak Cina masih dikuasai Dinasti Qing. Yakni sebelum Cina diperintah Partai Nasionalis yang pengaruhnya sejak 1949 disingkirkan Partai Komunis sampai sekarang.
Sejak dulu—sebagaimana dipaparkan Wang Ke dalam mahakaryanya yang berjudul Dong Tujuesitan Duli Yundong: 1930 Niandai zhi 1940 Niandai (Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur: 1930–1940) terbitan The Chinese University of Hong Kong—kelompok-kelompok separatis Xinjiang memang menggunakan agama (dalam hal ini Islam) untuk melegitimasi gerakannya.
Kenapa? Sebab, kata guru besar Kobe University itu, hanya agamalah yang bisa dipakai buat menarik simpati suku lain yang juga tinggal di sana. Andaikan kelompok-kelompok separatis Uighur memakai isu kesukuan, niscaya muslim bersuku Kazakhs yang juga tak sedikit jumlahnya di Xinjiang, akan sulit bersimpati kepada mereka.
Terbukti, bahkan kakanda dan ayunda yang berada di Indonesia pun bersimpati—untuk tidak menyebut “terkompori”. Padahal, yang dibidik oleh Pemerintah Cina—baik tatkala masih kedinastian maupun sekarang yang komunis—bukanlah agamanya. Juga bukanlah muslim yang moderat. Melainkan kelompok-kelompok separatis yang menggulirkan sentimen agama guna mencapai tujuan politiknya.
Anehnya, kelompok-kelompok separatis ini agaknya tidak benar-benar berniat memperjuangkan Islam. Buktinya, Jüme Tahir, imam besar Masjid Id Kah Xinjiang yang terkenal moderat dan pro-pemerintah itu pun dihabisi dengan keji selepas memimpin salat Subuh pada 30 Juli 2014 silam.
Akhirnya saya jadi bertanya-tanya: yang dibela oleh kakanda dan ayunda itu muslim Uighur yang mana?
Muslim Uighur yang moderat?
Meski sebenarnya mereka sih kayaknya nggak perlu dibela juga. Karena sepengamatan saya, mereka masih bisa beribadah dan berbisnis laiknya sedia kala. Ayo deh, mari kapan-kapan saya temani kakanda dan ayunda pergi ke Xinjiang untuk mengetahuinya. Ajak Abang Fadli Zon juga boleh deh.
Atau muslim Uighur yang suka membikin gaduh suasana Xinjiang pakai isu agama buat meraih agenda politiknya yang kakanda dan ayunda bela?
Ingat, justru muslim garis kaku nan ngamukan macam itulah yang—kata Profesor Beijing Foreign Studies University Xue Qingguo dalam esai bahasa Arabnya di harian Al-Hayat edisi 30 Agustus 2017—merusak citra Islam sebagai agama yang damai dan menjadikan “beberapa tahun belakangan Islamophobia mempunyai pangsa pasar yang cukup signifikan di Cina”.
Sebentar, sebentar, ini saya ngomongin negara mana sih sebenarnya? Kok rasanya rada-rada mirip sama sebuah negeri yang bentar lagi mau Pilpres ya?
https://mojok.co/nvb/esai/surat-terbuka-untuk-hmi-yang-unjuk-rasa-bela-muslim-uighur-di-cina/
Thursday, December 20, 2018
Adjie menyebut ada lima pengaruh yang membuat elektabilitas Prabowo-Sandiaga menurun paska Reuni Aksi 212
Penyebab Elektabilitas Prabowo-Sandiaga Merosot Paska Reuni 212
Akurat
2018/12/19 20:58
Ikuti
Calon Presiden No urut 2 Prabowo Subianto menyampaikan pidato di hadapan jutaan umat muslim dalam aksi reuni 212 di Kawasan Monas, Jakarta, Minggu (2/12/2018). Penyelenggaraan reuni ini merupakan kali kedua setelah juga dilakukan pada 2017 yang dikuti dari 21 Provinsi di Indonesia. | AKURAT.CO/Dharma Wijayanto
AKURAT.CO, Lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyimpulkan bahwa Reuni Aksi 212 tidak berpengaruh terhadap elektabilitas kandidat Pilpres 2019. Justru, paska Reuni 212 elektabilitas pasangan Prabowo-Sandiaga menurun.
Survei dilakukan pada 5-12 Desember 2018 kepada 1.200 responden. Survei dilakukan dengan metode multistage random sampling. Margin of error survei ini adalah 2,8%.
Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby mengatakan, pada November 2018 elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin 53,2 persen. Sementara elektabilitas Prabowo-Sandi sebesar 31 persen. Sedangkan paska reuni 212, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 54 ,2 persen dan Prabowo-Sandi 30,6 persen.
"Pasca reuni 212, elektabilitas kedua Capres tidak banyak berubah dan cenderung stagnan," kata Adjie saat memaparkan hasil surveinya di Kantor LSI Denny JA, Jakarta Pusat, Rabu (19/12).
Adjie menyebut ada lima pengaruh yang membuat elektabilitas Prabowo-Sandiaga menurun paska Reuni Aksi 212. Pertama, mayoritas pemilih yang suka dengan Reuni Aksi 212 sulit dipengaruhi pernyataan Habib Rizieq Syihab (HRS), terutama terkait soal NKRI bersyariah dan seruan ganti presiden. Masih kata Adjie, responden yang menyatakan suka terhadap Reuni 212 hanya 12,8 persen yang mendukung pernyataan 2019 Ganti Presiden.
"Kedua yang kita lihat adalah ada pemilih yang datang ke Prabowo dan ada yang pergi ke Prabowo. Yang datang ke Prabowo terutama PA 212 dan FPI. Kemudian yang pergi dari Prabowo NU, Muhammadiyah, Ormas Islam lainya, dan yang tidak merasa dari Ormas Islam manapun," ujarnya.
Ketiga, kata Adjie, kepuasan responden atas kinerja Jokowi umumnya masih tinggi. Penilaian atas kinerja Jokowi sebagai presiden tidak banyak berubah sebelum ataupun sesudah Reuni Aksi 212 dan publik diketahui masih tetap puas di angka yang cukup tinggi, yakni sebesar 72,1 persen.
Keempat, Ma'ruf Amin dianggap menjadi jangkar Jokowi untuk pemilih muslim. Sekitar 65,8 persen pemilih setuju bahwa simbol Islam tidak bisa digunakan untuk menggerus dukungan terhadap petahana. Mengingat Jokowi memilih ulama sebagai wakilnya.
Kelima, responden menilai Jokowi bukan musuh Umat Islam. "Oleh karena itu, gerakan Reuni Aksi 212 tidak bisa digunakan untuk menjadikan Jokowi Musuh bersama," ujarnya.
ANAK IDEOLOGIS ITU JAUH LEBIH BAIK DARI ANAK BIOLOGIS !
Ir. KPH. Bagas Pujilaksono WIDYAKANIGARA, M. Sc., Lic. Eng., Ph. D.
UNIVERSITAS GADJAH. MADA, Yogyakarta
Kepada Yth,
Rakyat Indonesia
Di Nusantara
Hal: Playing the Victim
Dengan hormat,
Sebagai akademisi UGM, saya sangat perihatin melihat totonan di panggung politik di tanah air jelang Pilpres dan Pileg 2019 yang kebanyakan tidak berkualitas dan tidak mendidik sama sekali. Saya berani berspekulasi, bahwa cara-cara seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang moral dan etikanya pincang yang semata hidupnya hanya untuk memburu kekuasaan.
Pelanggaran UU Pemilu adalah perbuatan kriminal. Mustinya, siapa saja yang terlibat atau yang merasa dilibatkan, membawa masalah ini ke ranah hukum, agar tidak menggelinding menjadi bola liar yang ujung-ujungnya hanya memfitnah pihak-pihak lain yang secara nalar sehat tidak punya kepentingan sama sekali. Pernyataan politik dari Seorang Ketum Partai Politik tertentu yang menyebutkan pihaknya adalah bukan pesaing pak Jokowi adalah pernyataan politik yang prematur, salah alamat, sembrono dan gegabah. Dalam hal ini, PDI Perjuangan sebagai bagian utama dari koalisi partai politik pendukung pak Jokowi, nalar sehat atau waras, PDI Perjuangan tidak punya urgensi dan kepentingan merusak atribut partai politik tertentu. PDI Perjuangan sebagai partai besar yang perilaku politiknya bersifat ideologis, secara kelembagaan sangat menjunjung tinggi etika dan moral. Justru, di masalalu, fakta sejarah menunjukkan, PDI Perjuangan yang selalu diusik keberadaannya oleh rezim yang berkuasa dan kader-kadernya diculik. Apa kepentingan dan keuntungan politik PDI Perjuangan mengusik keberadaan partai politik kelas gurem? Tidak nalar!
Ada peribahasa jawa: nabok nyilih tangan yang artinya perbuatan jahatnya dilakukan dengan cara bermain drama politik seolah-olah orang lain yang melakukannya. Padahal yang melakukan adalah oknum. Yang namanya oknum itu tidak merepresentasikan partai politik tertentu dan tindakan kriminalnya jelas bukan atas komando partai. Tuduhan ini adalah cara-cara jahat dan pengecut. Pengerusakan atribut partai politik tertentu adalah pelanggaran UU Pemilu dan perbuatan kriminal yang harus ditindak tegas. Bukan malah dipolitisir dengan menyuruh badut politiknya untuk menyalak-nyalak melempar fitnah keji, bahwa tindakan pelakunya atas komando partai politik tertentu. Tujuannya jelas untuk merusak citra partai politik tersebut. Sebenarnya ini hanya bentuk kepanikan dari Ketum Partai Politik tersebut, karena dari hasil beberapa survey, partainya tenggelem di bawah ambang batas parlemen (parlement threshold). Rakyat sudah cerdas dan bijak dalam memilih. Tenggelamnya partai politik tersebut dikarenakan banyaknya kader-kader elit partai politiknya yang terlibat korupsi di masalalu. Ini fakta, mau mengelak? Jika partai politik tersebut betul-betul tenggelam di 2019, maka masadepan anak-anaknya akan gelap gulita. CAKRA MANGGILINGAN! Pak Ketum itu hanya bermain kata-kata: demi rakyat, untuk rakyat..salah. Yang benar demi isteri dan anak-anaknya. Anak itu tidak usah dimanjakan, direkayasa jadi ini, dan jadi itu. Biarkan anak mencari masadepannya sendiri. Anak tidak harus melewati jalan yang sama dengan orang tuanya. Pemimpin macam apa yang bisa diharapkan dari anak yang belum selesai menthil emaknya? Biarkan anak dewasa dengan dirinya sendiri dan menjadi dirinya sendiri. Itu jauh lebih baik dan terhormat. Lebih-lebih, negeri ini bukan milik nenek moyangnya, jadi cara-cara pemunculan putra mahkota karbidtan sudah tidak laku lagi. ini tontonan comberan macam apa? ANAK IDEOLOGIS ITU JAUH LEBIH BAIK DARI ANAK BIOLOGIS! Apalagi cara-cara yang ditempuh masih dengan modus lama, betapa bodohnya negarawan ini yang konon ngakunya ahli strategi. Strategi macam apa? Strategi comberan! Politik itu dinamis, suatu cara efektif di masalalu, belum tentu efektif di masa sekarang, karena variabel yang berpengaruh banyak. Jadi nggak perlu Playing the Victim dengan cara memposisikan sebagai orang yang didholimi atau pakai acara nangis segala. Memalukan! Hebatnya, pak Ketum ini kalau ngomong gayanya menggurui, dia pikir orang Indonesia itu goblog-goblog semua, dan selalu memposisikan sebagai orang yang serba tahu, padahal faktanya dalam banyak hal dia tidak tahu apa-apa. Saran saya, pak Ketum segera lapor polisi, nggak usah dilempar ke publik yang harapannya jadi bola liar untuk memfitnah banyak pihak. Sekali lagi ini perbuatan pengecut, keji dan biadab. Rakyat rindu munculnya pemimpin yang tampil jujur dengan wajah dan hatinya. Bukan pemimpin yang wajahnya penuh bopeng dosa masalalu dan hatinya dengki karena dipenuhi dengan agenda politik terselubung.
Jadi partai politik kelas gurem itu tidak usah over acting dan banyak cita-cita. NARIMO ING PANDUM! Bijak melihat fakta politik dan cerdas dalam mensikapinya.
Mustinya kampanye diisi dengan adu program, kalau memang punya program, bukan malah sibuk fitnah sana fitnah sini. Ini sungguh sangat tidak mendidik. Kasihan rakyat, saat kampanye rakyat diobok-obok, dan namanya selalu dicatut jadi jargon-jorgan politik: demi rakyat, dan untuk rakyat, namun habis pemilu rakyat ditinggal. Bohong-bohongan semua!
Apa yang bisa diharapkan dari calon pemimpin yang bisanya hanya sibuk nyebar fitnah, nebar kebencian dan memporovokasi rakyat? Di lain hal sangat minim dengan ide-ide cemerlang.
Munculnya hal-hal aneh di panggung politik jelang pilpres dan pileg 2019, sebabnya hanya satu, yaitu karena para maling, penjahat dan koruptor negara mulai ketakutan dengan sepak terjang pak Jokowi yang sangat membahayakan keamanan uang hasil rampokannya yang disimpan di luar negeri. Ibaratnya para monyet turun gunung, ikut nimbrung di panggung politik di tanah air, dengan menghalalkan segala cara, hanya untuk menyelamatkan hartanya. Jelas bukan?
Terimakasih.
Yogyakarta, 2018-12-18
Hormat saya,
(KPH. Widyakanigara)
Fusse Note:
Mohon rekan-rekan seperjuangan dan media, surat terbuka ini diviralkan. Terimakasih.
Miliarder Rockefeller di Balik Penjarahan Kekayaan Alam Indonesia
Miliarder Amerika Serikat, David Rockefeller, meninggal pada usia 101 tahun pada Senin (20/3) waktu AS. Ia tercatat sebagai orang tua terkaya di dunia
Nama David Rockefeller kembali bergaung setelah berita kematiannya meramaikan pemberitaan dunia. Orang tua terkaya sekaligus cucu termuda John D Rockefeller meninggal dalam usia 101 tahun, Senin (20/3). Rockefeller ternyata merupakan sosok di balik masuknya sejumlah perusahaan multinasional ke Indonesia termasuk Freeport.
Dilansir dari Bloomberg, pada saat kematiannya yang diakibatkan gagal jantung, kekayaan Rockefeller bernilai 3,3 miliar dolar AS. Angka tersebut membuatnya menjadi orang terkaya ke-604 di bumi. Selain berprofesi sebagai ekonom di Chase National Bank, peraih gelar PhD di bidang ekonomi dari University of Chicago ini juga merupakan kolektor seni dan seorang filantropis.
Pada 2006, ia mewariskan 225 juta dolar AS untuk Rockefeller Brothers Fund yang didirikan bersama saudaranya pada 1940. Rockefeller Brothers Fund didirikan untuk mempromosikan perubahan sosial di seluruh dunia.
Tahun sebelumnya, ia menyumbangkan 100 juta dolar AS untuk dua lembaga New York, Moseum of Modern Art yang didirikan ibunya dan Rockefeller University, sekolah riset kesehatan yang diawali oleh sang kakek. Pada 2008, Rockefeller memberikan 100 juta dolar AS untuk almamaternya Harvard University di Cambridge, Massachusetts.
Kematian David Rockefeller menutup satu bab sejarah keluarga tersebut. Dikenal sebagai 'the Brothers', David, Laurance, John, Nelson, dan Wintrop melintasi yang saling berpotongan, bisnis, politik, filantropi, dan seni. Tidak ada keluarga AS lain yang pernah melakukannya.
"Tidak ada individu yang telah memberikan kontribusi untuk kehidupan komersial dan sipil di New York City lebih lama dari David Rockefeller," ujar mantan wali kota New York City Michael Bloomberg.
Selain memberi dampak bagi AS, miliarder yang terkenal dengan kedermawanannya itu rupanya juga memiliki peran penting bagi arah pembangunan Indonesia saat ini.
Seperti ditulis jurnalis Australia John Pilger di the Guardian dan buku berjudul Tell Me No Lies, pada November 1967 digelar konferensi tiga hari yang disponsori Time-Life Corporation di Jenewa, Swiss dan dipimpin Rockefeller. Semua perusahaan raksasa mengirim perwakilannya seperti perusahaan-perusahaan minyak besar, bank termasuk Chase Manhattan, General Motors, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, Siemens, US Steel, dan banyak lainnya. Mereka menanti bagi-bagi sumber daya alam dari presiden baru yang dianggap Richard Nixon hadiah terbesar dari Asia Tenggara.
Di seberang meja, ekonom pro-AS yang diutus Soeharto menyetujui pengambilalihan perusahaan dari negara mereka sektor per sektor. Freeport mendapat gunung tembaga di Papua Barat, konsorsium AS/Eropa mendapat nikel, dan perusahaan raksasa Alcoa mendapat sebagian besar bauksit Indonesia.
Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapat jatah hutan tropis Sumatra. "Ketika penjarahan itu selesai, Presiden AS ke-36 Lyndon Johnson mengirim ucapan selamat," ujarnya.
https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis-global/17/03/21/on5p2e382-miliarder-rockefeller-di-balik-penjarahan-kekayaan-alam-indonesia